Monday, January 18, 2010

Mendefinisikan Perguruan Tinggi Idaman: Sebuah Mimpi Indah di Siang Bolong yang Terik


Tahukah kau kawan? Mendefinisikan Perguruan Tinggi (PT) idaman sesungguhnya adalah sebuah persoalan yang dilematis. Sebagai seorang warga Negara Indonesia yang berhak mendapatkan pendidikan yang layak, kita tentu mengharapkan sebuah layanan pendidikan beserta fasilitas pendukung yang benar-benar berkualitas, namun di sisi lain, himpitan ekonomi yang mencekik hampir seluruh keluarga di negeri ini memaksa kita untuk selalu berangan-angan mendapatkan yang termurah. Berkualitas, tapi murah. Adakah?

Menurut Serian, Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan yang notabene tertinggi di negeri ini diharapkan mampu menjadikan dirinya sebagai pusat di bidang penciptaan, informasi, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Perguruan tinggi semestinya mampu memposisikan dirinya sebagai penopang utama pertumbuhan ekonomi berbasis pengetahuan, sebagaimana yang dicanangkan pemerintah, sebagai mitra di bidang pendidikan.

Sayangnya yang terjadi saat ini, Perguruan Tinggi yang diharapkan mampu menjadi pelopor lahirnya generasi-generasi bangsa yang berkualitas dan berkredibilitas tinggi untuk membangun Indonesia di masa mendatang justru menjadi semacam lembaga pendidikan yang angkuh. Ada banyak hal yang bisa kita sebutkan untuk mendefinisikan “angkuh” disini.

Pertama, hanya yang berduit yang bisa masuk dan merasakan nikmatnya mereguk ilmu di sebuah Perguruan Tinggi. Kita tidak bisa menutup sebelah mata akan fakta bahwa hampir seluruh Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia baik negeri maupun swasta memasang tarif masuk Perguruan Tinggi sekurang-kurangnya lima juta, bahkan banyak yang mencapai puluhan hingga ratusan juta. Kalau pun Perguruan Tinggi selevel Universitas Airlangga atau pun Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga memasang tarif kurang lebih satu juta koma sekian rupiah sebagai uang pendaftaran, kita perlu mencatat bahwa itu hanya khusus untuk jalur SPMB yang persaingannya amatlah ketat mengingat banyaknya peserta yang berminat.

Padahal kita tahu, tak banyak keluarga di Indonesia yang memiliki penghasilan lebih dari lima juta per bulan. Seorang buruh tani misalnya, hanya mendapatkan kurang lebih dua puluh lima ribu rupiah perharinya, yang tentu akan habis hanya untuk kebutuhan sehari-hari. Atau katakanlah seorang tukang becak yang tak lebih hanya akan mengantongi tiga puluh ribu rupiah perhari, itu pun setelah dipotong setoran wajib ke juragan becak. Dengan penghasilan seminim itu, mana mungkin terlintas di benak orang seperti mereka untuk memasukkan putra putrinya ke sebuah Perguruan Tinggi? Sebelum maju dan melihat impian putra putrinya berkembang, orang-orang seperti mereka telah teralienasi terlebih dahulu oleh angkuhnya sistem pendidikan kita. Maka seiring perkembangan Perguruan Tinggi di Indonesia yang semakin maju, satu fakta yang tak bisa terelakkan adalah bahwa itu semua hanya bisa dinikmati oleh kaum borjuis. Lain tidak.

Kedua, Perguruan Tinggi terkadang hanya menjadi semacam saksi bisu tempat berkumpulnya orang-orang berduit yang hanya mengejar status sarjana tanpa kesungguhan niat untuk mereguk ilmu dan pengamalannya di masyarakat kelak. Fungsi awal untuk melahirkan manusia-manusia unggul pembangun bangsa menjadi terlupakan. Perguruan Tinggi mendadak justru menjelma mesin penghasil pengangguran dan manusia-manusia egois yang hanya peduli pada perut mereka.

Ketiga, bisa dikatakan Perguruan Tinggi kini turut andil besar dalam perusakan lingkungan yang sudah semakin memprihatinkan. Hampir tak satu pun Perguruan Tinggi di negeri ini yang benar-benar peduli, betapa banyaknya mahasiswa yang tiap hari bolak balik kampus dengan motor dan mobil mewahnya, yang tentu memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam peningkatan polusi udara di Indonesia. Tak ada satu pun yang berinisiatif untuk menyelesaikan atau paling tidak meminimalisir persoalan tersebut. Beberapa waktu silam, UGM sebagai Perguruan Tinggi Favorit Indonesia sempat mencanangkan sepeda hijau, namun program itu menghilang begitu saja seolah tak pernah ada.

Keempat, hampir bisa dikatakan tak ada satu pun Perguruan Tinggi di Indonesia yang benar-benar concern pada permasalahan moral mahasiswa. Kalau pun ada Perguruan Tinggi berlabel agama, tak bisa dipungkiri bahwa kondisi moral mahasiswanya bukanlah merupakan suatu jaminan di dalamnya. Kita tahu, betapa memprihatinkannya kondisi kota-kota besar tempat dimana berkumpulnya mahasiswa-mahasiswa perantuan semacam Jakarta, Jogjakarta, Surabaya, Semarang, dan yang lainnya. Perguruan Tinggi hanya menjadi semacam tempat belajar teori-teori yang sama sekali tak dapat menyentuh masalah moral dan keagamaan mereka. Gaya hidup yang cenderung bebas sudah menjadi hal yang lumrah bagi mahasiswa kita.

Fakta-fakta di atas seringkali membuat kita tersadar dengan kening berkerut, betapa menyedihkannya Perguruan Tinggi di negeri kita. Tak adakah satu saja yang benar-benar bisa memberikan pelayanan pendidikan dan fasilitas yang berkualitas tanpa melupakan permasalahan lingkungan dan moral untuk seluruh rakyat Indonesia dari semua kalangan?

Jawabannya, tentu sulit menemukannya. Karena kita tidak bisa serta merta menyalahkan masing-masing Perguruan Tinggi. Semua kembali pada pemerintah sebagai pemegang wewenang tertinggi dan penyelenggara pemerintahan, tanpa mengesampingkan setiap elemen pengelola dalam Perguruan Tinggi.

Namun jika boleh saya berangan-angan, memimpikan sebuah Perguruan Tinggi idaman tentu tidak bisa terlepas dari hal-hal berikut ini:

1.Sebuah Perguruan Tinggi Idaman idealnya mampu menampung seluruh rakyat yang memang mempunyai kemauan serta kemampuan untuk mencari ilmu. Mulai dari atas, menengah, hingga kalangan tak berpunya. Perguruan Tinggi yang saya idamkan seyogyanya mampu menyiasati persoalan yang membuat para rakyat miskin di negeri ini tak mendapatkan kesempatan belajar di Perguruan Tinggi. Menjalin kerja sama dengan sebanyak mungkin pihak yang bersedia menjadi donatur atau sponsor beasiswa bagi calon mahasiswa yang kurang mampu adalah salah satunya.

2.Sebuah Perguruan Tinggi sudah semestinya memiliki standar mutu yang tinggi. Oleh karenanya, alangkah baiknya bila sebuah Perguruan Tinggi mampu menyeleksi setiap calon mahasiswanya dengan baik dan teliti, dengan pertimbangan berbagai hal yang nantinya bisa membuktikan bahwa Perguruan Tinggi tersebut bukan hanya menjadi semacam saksi bisu tempat berkumpulnya orang-orang berduit yang hanya mengejar status sarjana tanpa kesungguhan niat untuk mereguk ilmu dan pengamalannya di masyarakat kelak.

3.Perguruan Tinggi Terbaik hendaknya mampu memberikan pelayanan dan fasilitas pendidikan yang berkualitas, tanpa mengurangi keramahan yang menjadi ciri khas bangsa kita. Perguruan Tinggi semestinya mampu bersikap professional dalam memberikan pelayanan pendidikan. Pertama, dalam hal tenaga pengajar yang kompeten, disiplin, dan mampu menumbuhkan motivasi mahasiswa serta menciptakan relasi antara pengajar dengan yang diajar. Kedua, fasilitas pendidikan hendaknya memadai, seperti pengadaan perpustakaan ideal, kenyamanan gedung yang sepadan dengan biaya yang telah mahasiswa keluarkan, fasilitas pembelajaran penunjang di setiap fakultas, serta penyediaan akses dan informasi beasiswa dalam dan luar negeri sebanyak-banyaknya. Pelayanan operasional seperti administrasi dan pengusulan beasiswa yang tidak bertele-tele, transparan, dan ramah tentu akan memberikan nilai plus.

4.Alangkah baiknya bila sebuah Perguruan Tinggi mampu menjadikan dirinya sebagai pemecah masalah lingkungan. Banyaknya mahasiswa yang menggunakan sepeda motor dan mobil yang turut andil dalam pencemaran lingkungan bisa disiasati dengan diberlakukannya penggunaan sepeda atau bus kampus untuk semua elemen dalam Perguruan Tinggi. Mulai dari rektor, karyawan, dosen, hingga mahasiswanya sendiri. Tidak mudah memang, namun dengan kesungguhan niat tentu hal tersebut bisa benar-benar direalisasikan.

5.Masalah moral dan keagamaan mahasiswa tentu tak boleh dikesampingkan. Perguruan Tinggi hendaknya mampu memonitor perkembangan moral dan keagamaan setiap mahasiswanya. Hendaknya diciptakan sebuah wadah yang mampu memonitor perkembangan moral dan keagamaan mahasiswa sesuai keyakinannya masing-masing. Kehadiran Perguruan tinggi selevel Universitas Islam Indonesia yang kental akan nilai agama dalam atmosfir kampus sudah sepatutnya diteladani Perguruan Tinggi lainnya. Maraknya budaya “titip absen” di kalangan mahasiswa yang tentu berperan dalam rusaknya moral dan kejujuran mahasiwa juga perlu disiasati. Paling tidak, Perguruan Tinggi semestinya memperkerjakan tenaga pendidik atau dosen yang benar-benar disiplin dan tegas sehingga bisa meminimalisir praktek curang mahasiswa. Pengadaan absen dengan sidik jari adalah solusi paling tepat.

6.Terakhir, sebuah Perguruan Tinggi ideal hendaknya mampu bukan hanya membekali mahasiswanya dengan hard-skill semata namun juga soft-skill. Perguruan Tinggi juga diharapkan menjalin hubungan dan kerja sama dengan sebanyak mungkin pihak (penyedia lapangan pekerjaan) sehingga kemampuan lulusan Perguruan Tinggi bisa langsung tersalurkan dan tidak mencipatakan banyak pengangguran baru yang hanya akan menambah beban negara.

Itulah kawan, sekelumit mimpi indahku tentang sebuah Perguruan Tinggi Idaman. Mungkin terlalu muluk, namun bukankaah semua hal besar di dunia ini datang dari sebuah mimpi? Dan untuk adik-adikku yang mungkin merasa terlalu kecil untuk masuk ke Perguruan Tinggi, sesungguhnya aku mempunyai sebuah jawaban untuk menyiasati tingginya biaya yang dipatok setiap Perguruan Tinggi angkuh itu… mau kuberi tahu?
Jawabannya adalah: Belajarlah dengan serius dan berkemauanlah dengan sungguh-sungguh!
Karena ketika kau belajar dan berkemauan dengan segenap kemampuanmu, maka jalan itu pasti akan terbuka. Tak peduli betapa miskin dan tak berduitnya orang tuamu, atau betapa angkuh dan sombongnya gedung Perguruan Tinggi itu untuk kau jejaki. Yakin lah, jalan itu pasti ada kawan. Kalau kau bertanya dimana jalan itu? Aku akan menjawabnya: jalan itu adalah Beasiswa. Disini akan kuberikan sedikit info beasiswa yang semoga bisa kau buka pintunya untuk jalanmu kedepan.

1.Beasiswa Departemen Agama (S1)
Beasiswa ini khusus diperuntukkan bagi lulusan Pondok Pesantren (Jadi kau harus bersekolah di Pesantren dulu kawan. Coba saja, asyik kok!). Beasiswa ini meliputi seluruh biaya kuliah selama menempuh S1 beserta living-cost setiap bulan sebesar Rp 750.000,- ( Mana ada beasiswa seperti ini? Komplit!). Kau juga diperbolehkan memilih jurusan dan universitas pilihanmu yang kesemuanya Insya Allah berkualitas, mulai dari UGM, UNAIR, IPB, ITB, ITS, Uin Sunan Kalijaga, Uin Syarif Hidayatullah, IAIN Walisongo, dan IAIN Sunan Ampel. Biasanya, informasinya akan disebar ke setiap pesantren di seluruh Indonesia. Namun jangan lupa kawan, setelah lulus kita mesti menjalani pengabdian selama tiga tahun di pesantren atau lembaga yang telah ditentukan Departemen Agama, karena ini beasiswa yang mengikat. Karena bukankah itu inti dan tujuan kita menuntut ilmu, untuk diamalkan bukan? Kalau kau tertarik, kau bisa mencari informasinya di website Departemen Agama, atau langsung ke kantor Departemen Agama yang ada di tiap provinsi.

2.Beasiswa Universitas Paramadina
Sejauh pengetahuanku ini juga beasiswa penuh untuk S1 beserta living-cost. Untuk lebih jelasnya, kau kunjungi saja website Universitas Paramadina.

Mungkin baru itu yang bisa kuberitahukan padamu kawan. Karena hanya dua itulah yang kutahu yang menyediakan beasiswa penuh beserta living-cost. Sesungguhnya, memimpikan sebuah Perguruan Tinggi idaman ini tak bisa kupisahkan dari harapan akan adanya lebih banyak lagi lembaga pemerintah dan swasta yang memberikan kesempatan belajar di Perguruan Tinggi untuk anak bangsa yang kurang mampu. Meski ini terlalu imajinatif, namun aku percaya semua mempuanyai masanya tersendiri untuk mewujud menjadi kenyataan.

(Di-postkan dalam rangka mengikuti Lomba Blog UII)



Salam Hangat,
Robita Asna

No comments:

Post a Comment