Friday, January 15, 2010

.Cerita Kota Tua.



.KOTA TUA.


Hmm...

Hari ini kita bicara apa ya soal jakarta?

Umh...

Bagaimana kalo kita bahas soal “Profesi” sebagian penduduk jakarta?

Mungkin buat sebagian orang, profesi adalah sebuah karier yang harus diperjuangkan untuk mencapai kata sukses yang mereka definisikan sendiri tolak ukurnya. Biasanya orang-orang seperti ini selalu punya target yang harus mereka capai dalam kurun waktu tertentu. Hem... bagus, artinya mereka workholic dan pekerja keras. Tapi, buat sebagian orang lagi, mungkin profesi hanyalah sekedar pekerjaan yang jadi sebuah rutinitas manusia untuk melanjutkan hidup mereka. Gak salah juga sich? Tapi kok ya flat amat hidupnya, hehehehehe... dan menurut sebagian lagi, mungkin profesi adalah sesuatu yang berharga. Mereka mungkin tidak berasal dari keluarga yang bisa dikatakan cukup sehingga mungkin SD saja mereka tidak tamat, tapi mereka harus menjalani kejamnya ibu kota untuk bisa bertahan hidup. Kadang, apapun perkerjaan yang ditawarkan kepada mereka, mereka akan menerima dan menjalaninya demi bertahan hidup. Dengan keterbatasan yang mereka miliki, mereka memutar otak untuk mencari pekerjaan. Pekerjaan yang mereka perjuangkan juga bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukkan orang kebanyakan. Mereka tidak berdasi atau memakai bllezer, mereka juga tidak duduk nyaman dikursi yang empuk, tidak juga berada di ruangan ber-AC, tidak juga nyaman berada dikantor yang terhindar dari panasnya matahari dan juga dinginnya hujan, tidak juga berpenghasilan yang layak.

Beberapa minggu yang lalu, saya ddan team melakukan sebuah perjalanan kecil untuk melihat-lihat wajah jakarta.

Perjalanan dimulai dari shelter busway pulo gadung. Awalnya, kami ingin mewawancari petugas busway mulai dari penjaga loket dan supir busway yang tidak memandang gender lagi. Pria maupun wanita bisa jadi supir busway. Umh, menurut saya itu sebuah profesi unik yang bisa dikatakan profesi baru yang diciptakan oleh pemerintah kota jakarta. Namun, dengan keterbatasan waktu dan ketidakleluasaan petugas yang sedang bertugas, membuat kami mengurungkan niat tersebut.

Perjalanan kami cukup memakan waktu 1 jam kurang lebih dengan melakukan 1 kali transit sebelum akhirnya sampai di kota tua. Ketika itu suasana kota tua cukup ramai dipadati pengunjung yang sedang rekreasi dalam rangka mmenghabbiskan liburan dengan hanya sekedar piknik, mengunjungi museum dan...

Hey, look at that...

Sepeda ontel...



Banyak sedang menyewa ojek sepeda ontel untuk sekedar berkeliling pelataran meseum fatahilla. Kami langsung tertarik dan sepakat menjadikan ojek sepeda ontel ini sebagai target utama wawancara kami pagi itu. Sebuah potret kehidupan profesi yang luar biasa dan tidak semua orang bisa lakukan. Ya, tukang ojek sepeda ontel...



Sepeda ontel.



Sepeda yang tergolong sepeda lama yang sudah dipakai rakyat indonesia dari jaman penjajahan. Kenapa sepeda ontel? Umh... unique. Mungkin itu yang pertama kali terlintas dalam benak kita ketika melihat para ojek-ojek yang sedang mangkal untuk mencari pelanggan. Dan alasan yang kedua mungkin karena ontel adalah sepeda lama jadi cukup match dengan suasana kota tua sehingga para penyewa sepeda ontel akan merasa berada pada beberapa tahun silam dan bisa menikmati kota tua dengan nuansa dan romantika tempo dulu.

Menurut jenisnya, sepeda ontel itu dibagi dua, yaitu sepeda ontel ojek dan ontel wisata. Biasanya untuk ojek, ontel yang digunakan adalah ontel untuk pria dengan plang dibagian depan jok sedangkan untuk wisata, ontel yang biasa digunakan adalah untuk wanita dengan plang yang melengkung ke bawah sehingga memudahkan pengujung untuk menggunakannya.

Umh, diperjalanan kami melihat-lihat, kami bertemu dengan seorang bapak asal semarang yang merantu ke jakarta untuk mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Bapak ini adalah satu dari sekian banyak orang yang tidak seberuntung orang tua kami yang masih berkecukupan untuk memenuhi semua kebutuhan kami. Beliau sampai harus ke jakarta untuk mmengadu nasib disini. Tanpa bekal keterampilan dan keahlian, ia mencoba untuk membeli sebuah sepeda ontel tahun1929 yang ketika dia beli harganya masih 290ribu namun sekarang harganya sudah mencapai jutaan rupiah. Beliau memulai melakukan pekerjaanya di kota tua pada tahun 1992 namun menjadi bagian dari wisata ojek ontel baru sekitar setahun. Beliau merantau sendirian kejakarta sedangkan anak dan istrinya berada di semarang. Selain jadi tukang ojek sepeda ontel, beliau juga bertani di kampungnya kendal. Beliau mempunyai dua orang anak yang secara pendidikan dan kehidupannya masih bisa tercukupi meskipun tidak berlebih. Untuk penghasilannya sendiri, kalau musim liburan, biasanya penghasilannya lumayan namun jika sedang sepi, beliau hanya dapat penghasilan sekedarnya.



Kami pun sempat bertanya untuk harga sewa dari ojek ini dan juga tujuan-tujuan sekitar kota tua yang bisa dijelajahi. Range harga dibagi dua, yaitu sewa hanya disekitar pelataran meseum fatahillah dan juga sewa ojek mengelilingi 5 tempat tujuan wisata yaitu pelabuhan sunda kelapa-menara syah bandar-meseum bahari-jembatan kota intan dan toko merah yang memakan waktu kira-kira 1 jam setengah. Untuk harga sewa 1 jam sekitar pelataran meseum fatahilla dikenai biaya 20ribu rupiah sedangkan untuk yang 5 tempat tujuan wisata dikenai biaya 30ribu rupiah.

Ada begitu banyak keindahan yang bisa ditemui sepanjang jalan, dan juga anda bisa menemukan begitu banyak sejarah didalamnya...

Bagaimana?

Anda tertarik untuk mencoba?datanglah ke kota tua dan rasakan sensasi tempo dulu disini...

:-)

Selamat mencoba...

1 pelajaran yang bisa kita ambil disini adalah, perjuangan selalu memtuhkan pengorbanan dan juga kemauan. Semua yang ada didunia tidak bisa kita miliki instan, jadi berusahalah untuk mencapai apa yang kau inginkan...

No comments:

Post a Comment