Thursday, February 25, 2010

Gudang beras peninggalan PT.TIMAH SINGKEP

pariwisata lingga, dabo singkepgedung ini lumayan megah, yang dulunya dijadikan sebagai gudang penyimpanan beras yang diperuntuk untuk di bagikan kepada karyawan-karyawan yang bekerja di PT.Timah singkep


Sekarang gedung ini tidak terpakai lagi, dan belum di manfaatkan buat apapun.

Wednesday, February 24, 2010

Simfoni Hitam (Catatan tentang Bapak…)


Kita selalu tahu, bahwa pada suatu hari nanti kita akan berpulang ke pangkuanNya. Sebagaimana manusia pada umumnya, aku percaya benar akan hal itu. Namun kini aku baru sadar, selama ini kesadaran akan kematian itu hanyalah sebatas cangkang belaka, aku belum bisa merasakan esensi sesungguhnya dari kematian. Ya, aku tak pernah merasa begitu dekat dengan kematian, setidaknya sampai ketika maut menjemput Ayahku beberapa waktu lalu. Saat itulah aku seperti disadarkan bahwa ada sebuah mekanisme yang diciptakan olehNya bernama hidup dan mati. Tak bisa kita tolak dan kita cegah tanpa peduli seberapa kuat kita berusaha dan memohon untuk dijauhkan darinya.

Kutulis note ini bukan karena apa, tapi karena di tengah rasa sedih dan kehilangan… setidaknya aku masih bisa menulis. Yah, inilah yang bisa kulakukan. Setelah doa yang tiada habisnya tentu.

Selama ini aku tak pernah merasa sangat dekat dengan Bapak, pada kenyataanya kami memang tak begitu dekat. Tapi saat malam itu Dokter menyatakan Bapak telah tiada, aku bisa mendengar hatiku hancur seketika. Bergemeretak sangat keras, dan bahkan hingga kini aku masih bisa merasakannya.

Aku tak akan pernah menyebut hari meninggalnya Bapak sebagai sebuah mimpi buruk. Memang tak pernah terpikirkan dan tak akan pernah kuharapkan tiba. Namun aku tak mau menganggapnya sebagai sebuah mimpi buruk, Karena bisa jadi hal ini justru menjadi mimpi terindah bagi Bapak, bisa bertemu dan menghadap Nya untuk mereguk yang selama ini ia perjuangkan. Siapa yang tahu? Setidaknya bagiku, peristiwa ini, meski pahit, namun memperjelas satu hal, bahwa bukan kadang-kadang saja kita mesti mengingat kematian. Karena jika tidak, dan kita terlalu sibuk dengan keduniaan maka kehidupan kita yang seperti sangat berharga ini tak akan berarti apa-apa. 

Sebelumnya, aku tak pernah berfirasat jika Bapak akan segera dipanggil oleh-Nya. Andai saja ada tanda, tentu aku akan pulang lebih cepat semester ini. Andai saja aku tahu hanya 22 tahun waktu yang diberikan-Nya untukku bisa bersama Bapak, tentu aku tak akan pernah punya keberanian untuk merantau jauh dari rumah, meninggalkan kesempatan menghabiskan waktu bersama Bapak. Andai saja aku tahu bahwa hanya seminggu waktuku untuk bisa menatap Bapak setelah sekian lama berkutat dengan tugas kuliah di Surabaya, tentu aku akan menghabisakan seluruh waktuku dalam seminggu itu agar bisa berdekatan dengan Bapak. Ah… tapi manusia memang tak pernah tahu dan penyesalan yang bukannya tak berguna itu selalu datang di akhir cerita.

Rabu pagi 20 Januari 2010 lalu aku tiba di rumah dengan perasaan lelah teramat sangat setelah perjalanan panjang Surabaya-Magelang yang lumayan tersendat. Suasana rumah lumayan ramai karena ternyata Bapak bersama beberapa tukang tengah memperbaiki atap pelataran rumah kami yang tak begitu luas. Ibu pergi ke pasar, dan saudara kembarku Usna tengah tidur. Kesal karena tak ada yang menyambutku, aku langsung merebahkan diri di dalam kamar. Membisu. Saat Bapak menyapaku di pintu kamar, aku sama sekali tak mengacuhkannya. Baru saat ibu kembali dari pasar, kekesalanku mulai mencair. Lantas kami pun makan siang bersama, ada sedikit canda seperti biasa.

Setelah itu, hari-hari berjalan sebagaimana biasanya. Tak ada yang istimewa. Karena kutegaskan sekali lagi, kalau aku memang tidak dekat dengan Bapak sebagaimana aku dekat dengan ibu. Kini saat aku tak bisa lagi menatap wajah Bapak, tanpa sadar aku selalu berusaha sekuat tenaga merangkai memori dan keping-keping kenanganku bersama Bapak. Masih segar dalam ingatanku saat (entah hari apa) aku berdiskusi dengan Bapak tentang pluralisme dan Gus Dur di ruang tamu lepas sholat maghrib. Masih kental dalam benakku saat aku ngeyel mengajak pergi ke Taman Kyai Langgeng. Sudah lama kami tidak rekreasi keluarga, dan aku ingin sekali mencoba flying fox, begitu dalihku waktu itu. Dan Bapak, tentu saja menyetujui. Ia masih sempat menyanggupi hari Rabu depannya kami akan pergi ke Kyai Langgeng. Dan rasanya baru kemarin, Bapak memintaku untuk membelikannya kemeja lengan pendek saat aku kembali ke Surabaya nanti.

Ah, ternyata beginilah rasanya kehilangan. Sakit yang teramat saat orang yang kita sayangi, yang ibarat pondasi bagi hidup kita, pergi dipanggil oleh Nya. Hari Selasa pagi 26 Januari 2010 aku masih sempat ngobrol pendek dengan Bapak di ruang tengah. Ia memang sudah terlihat letih dan tidak begitu sehat. Namun saat aku menganjurkan agar ia memeriksakan diri ke rumah sakit di pusat kota, ia mengatakan bahwa semalam ia sudah pergi ke dokter dan kata dokter ia hanya butuh istirahat yang lama. Maka begitu saja lah akhir percakapan kami. Rupanya itulah percakapan terakhir kami. Andai saat itu aku tahu bahwa keadaan Bapak benar-benar sudah kritis, tentu akan kupaksa dan kuantar Bapak untuk pergi ke rumah sakit.

Hingga Selasa sore, aku masih beraktifitas seperti biasa. Karena memang tengah liburan, aku hanya santai-santai di kamar, nonton film dan nge-game. Tak sekali pun aku menengok Bapak yang sedari pagi beristirahat di kamarnya. Aku memang tak terbiasa memastikan aktifitas Bapak sehari-hari, lebih banyak Bapak yang selalu menyambangiku, lagipula sudah selalu ada Ibu yang setia melayani Bapak. Biasanya, kalau memang membutuhkan aku, Bapak akan memanggil. Dan kupikir, Bapak hanya kelelahan biasa dan butuh istirahat. Rupanya, Bapak memang membutuhkan istirahat panjang. Istirahat yang mengantarnya ke tempat berpulang, ke pangkuan-Nya.

Selasa sore, saat Ibu membangunkan Bapak untuk sholat Ashar, Bapak terlihat begitu lemas dan seperti tidak kuasa untuk bangun, bahkan untuk sekedar menyahut. Saat aku datang pun, Bapak hanya memandangku dengan matanya yang sudah setengah terpejam dan bersuara “Hmmm…” saat kutanya apa yang dirasakannya. Bodohnya aku, saat itu aku masih tenang-tenang saja dan mengira Bapak hanya kebingungan karena bangun tidur terlalu sore. Namun karena tak kunjung menunjukkan reaksi, maka kami sepakat untuk membawa Bapak ke Puskesmas terdekat.

Disana, Bapak sudah tak bisa membuka mata. Ia seperti tertidur tapi tak sadarkan diri. Namun kaki dan tangannya masih bisa bergerak sesekali. Kata dokter jaga di UGD Puskesmas, Bapak mengalami kegelisahan yang akut sehingga terserang koma dalam keadaan tidur. Ia merujuk agar Bapak dibawa ke sebuah rumah sakit swasta di Temanggung, karena katanya penangan dan fasilitas di RS tersebut bagus dan kebetulan ICU RS di kota kami penuh semua. Dengan pengetahuan medis yang hampir dikatakan nol, kami pun menurut. Aku ikut mendampingi Bapak di dalam ambulan. Sama sekali tak terbersit di benakku saat itu, bahwa sebenarnya Bapak mengalami stroke yang mengakibatkan pemecahan pembuluh darah di otak, yang justru akan lebih parah bila langsung dilarikan ke RS dengan ambulan karena goncangan yang bertubi-tubi selama perjalanan bisa memicu pendarahan di otak yang lebih hebat.

Lepas Maghrib kami baru tiba. Kulihat Bapak langsung dimasukkan ke ICU. Sampai disitu aku masih merasa Bapak akan baik-baik saja dan pulih seperti semula. Karena kami tidak sempat membawa baju ganti dan perlengkapan lainnya, Ibu menyuruhku pulang dan besok pagi saja kembali lagi. Aku menurut. Kupikir, Bapak akan segera sadar begitu ditangani oleh Dokter. Namun paginya saat aku datang, ternyata Bapak masih koma. Dan yang lebih membuatku sedih sekaligus marah, belum ada Dokter yang menanganinya, Bapak hanya ditangani oleh beberapa perawat. Kata pihak RS, dokter spesialis syaraf yang akan menangani Bapak baru akan datang jam 2 siang. Namun kami tunggu hingga jam 2 siang, dokter yang dijanjikan belum muncul juga. Aku semakin khawatir dengan kondisi Bapak. Ia seperti tertidur biasa, namun aku mulai ragu… adakah sesuatu yang terjadi pada Bapak? Tapi apakah gerangan? Tak ada yang bisa menjawab kecemasanku. Perawat yang kucecar dengan rentetan pertanyaan pun hanya bisa menjawab kalau Bapak mengalami hipertensi, namun tidak tahu pasti apa yang terjadi pada Bapak.

Jam empat sore telah lewat, namun sang dokter belum datang juga. Aku dan keluarga mulai kehilangan kesabaran, kenapa RS tersebut begitu lamban dalam menangani pasien yang sudah dalam keadaan kritis? Aku baru tahu kalau ternyata pasien yang masuk ICU tidak mempunyai jaminan untuk segera mendapatkan penanganan dari dokter. RS macam apa itu? Tidakkah mereka tahu ini menyangkut urusan hidup dan mati. Akhirnya setelah kukejar beberapa pertanyaan, sang perawat mengaku bahwa sebenarnya sebagai RS swasta, mereka belum mempunyai dokter spesialis sendiri. Mereka masih mengambil dari luar, oleh karenanya mesti mengantri dan kemungkinan dokter itu datang ketika petang.
Rasa khawatir, kesal, kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu. Mengaduk-aduk perasaanku hingga tangisku pun pecah. Apalagi bila melihat betapa tak berdayanya Bapak di antara selang oksigen di dalam ICU sana. Padahal dulu lelaki itu yang selalu mengajakku ke taman bermain setiap minggu saat aku masih kecil. Padahal dulu lengan kuatnya yang selalu mengangkat dan mengayunkan tubuh mungilku saat aku ingin pura-pura naik pesawat terbang. Padahal tiga tahun silam ia masih dengan bangganya mengantarku ke Surabaya untuk menuntut ilmu. Padahal setahun lalu ia masih menemaniku check-up saat aku terkena TBC Kelenjar. Padahal seminggu sebelumnya ia masih duduk semeja denganku, membicarakan rencana kami pergi ke Taman Kyai Langgeng.

Hingga hampir petang aku bersama keluargaku bolak-balik ke ruang perawat dan poli syaraf untuk mencari dokter. Namun nihil. Dan saat kami berunding untuk memindahkan Bapak ke RS di Jogja yang tentu lebih berkualitas, akhirnya dokter yang kami tunggu-tunggu pun muncul juga. Dokter itu mengatakan Bapak harus segera dirujuk ke Jogja. Namun karena kondisi Bapak yang sudah kritis, semuanya kembali pada keputusan keluarga. Karena bila dirujuk, resiko dalam perjalanan juga sangat tinggi. Dalam kebingungan yang teramat, kami tak juga menemukan satu keputusan. Kami takut Bapak semakin parah dan butuh penanganan segera, namun untuk dibawa ke Jogja pun resiko dalam perjalanan juga teramat tinggi. Dilema. Kami benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Sementara ibu dan kakak-kakakku sudah merasa pasrah dan tak tega lagi melihat kondisi Bapak yang semakin kritis, Bapak sudah tidak seperti tertidur lagi, napasnya semakin pendek-pendek. Tangan dan kakinya sudah sangat dingin. Tiap beberapa menit terbatuk dan mengeluarkan cairan hitam. Ibu dan kakak-kakakku memilih menunggu di luar ruangan karena tak tega. Namun aku merasa ingin berdekatan dengan Bapak. Aku merasa bahwa andai saja saat itu Bapak sadar, pasti ia akan marah jika tahu aku tak menungguinya. Saat itu, aku masih bersikeras pada perawat dan dokter jaga bahwa tentu Bapak masih bisa ditolong. Aku mengusulkan A sampai Z kemungkinan agar Bapak bisa dirujuk. Aku masih sempat berlari-lari ke kantin RS mencari minyak kayu putih agar bisa menghangatkan kaki dan tangan Bapak yang sudah sedingin es. Saat itu, sesungguhnya aku sedang berusaha meyakinkan diriku bahwa Bapak pasti akan sadar dan sembuh, aku berusaha menampik pesimisme orang-orang. Aku ingin kepercayaanku yang irasional itu bisa menciptakan keajaiban. Bukankah segalanya mungkin bila Tuhan mengizinkan?

Namun rupanya bukan untuk kali ini. Saat keluarga besar dari Bapak datang dan bersama-sama membacakan surat yasin, selang oksigen Bapak dilepas, dan sedetik kemudian dokter menyatakan Bapak telah tiada. Aku masih bisa merasakan bagaimana hancurnya aku waktu itu. Akhirnya malam itu juga jenazah Bapak kami bawa ke rumah. Malam itu hujan turun seolah mengerti kesedihanku, dan di depan rumah kami, sudah berkumpul banyak sekali orang yang menunggu kedatangan jenazah Bapak. Sebagian besar tetangga dan kerabat kami. Malam itu, setelah dimandikan dan dibungkus kafan, kupeluk Bapak untuk terakhir kalinya. Aku merasa hatiku seperti tengah dililit ribuan utas tali yang membuat nafasku terasa begitu sesak. Ya… hatiku berharap semua yang kurasakan itu hanyalah sebuah mimpi, namun nyatanya aku sadar sepenuhnya.

Esoknya, Bapak dimakamkan. Dengan diantar tetangga, kerabat, teman, sahabat, dan handai taulan. Begitu banyak air mata yang tumpah saat itu. Aku tak pernah menyangka akan sebanyak itu air mata yang mengiringi kepergian Bapak. Ternyata begitu banyak orang yang mencintai Bapak. Karena begitu banyaknya pengantar, aku sampai harus bersusah payah agar tetap bisa berada di urutan depan selama prosesi pemakaman Bapak. Dengan mata kabur, kusaksikan tubuh Bapak dimasukkan ke dalam liang lahat. Saat kakakku melantunkan azan, tiba-tiba aku merasakan sebuah rasa rindu yang membuncah. Rindu pada Bapak. Dan rindu itu semakin meluap-luap bercampur dengan perih mengingat kenyataan bahwa rasa itu tak akan terjawab bahkan oleh sebuah pertemuan. Sekarang dan nanti.


Tak akan ada Bapak lagi saat aku pulang liburan tiap semester nanti, tak aka nada Bapak lagi saat aku wisuda nanti, tak akan ada Bapak lagi saat kelak aku menikah dan mempunyai seorang anak nanti. Namun semua kesedihan ini tak akan kubiarkan terlalu berlarut, Meski saat ini aku masih merasakan sensasi simfoni hitam ini, namun sepenuhnya aku sadar bahwa kematian merupakan kodrat dari-Nya. Diriku pun suatu hari nanti akan menemui batas akhir waktuku. Yang bisa kulakukan sekarang adalah tetap bertahan dan berusaha mewujudkan cita-cita yang belum sempat Bapak wujudkan.



Monday, February 15, 2010

Foto 3 bocah kecil bersepeda

Dabo singkep
3 bocah yang dengan kompaknya melakukan perjalanan dengan sepeda kecil mereka, hidup ini begitu indah seru mereka dalam hati
.

Sunday, February 14, 2010

pulau berhala ku

pulau berhalaku.......
walau dirimu jauh ditengah-tengah lautan
walau dirimu berbeda jarak yang lumayan
namun....
dirimu masih saudara dekat kami, singkep ..

pulau berhalaku.....
tiada niat dihati kami untuk membuat mu terasing
dan tiada niat kami untuk membuatmu di patok orang lain....
tapi , keadaan yang telah berkata lain
sehingga sejarah yang ada didaerahmu mu jadi dua sejarah yang tak pasti siapa yang benar dan siapa yang salah..

jujur walau dirimu jauh...
kami enggan berpisah denganmu
karena kami tahu dirimu bahagian dari diri kami sejak dulu........

Thursday, February 4, 2010

KUMPULAN TULISAN PUTRA-PUTRI KABUPATEN LINGGA

ASSALAMMUALAIKUM.WR.WB.....
kepada YTH para putra-putri kabupaten lingga ,baik asal dabosingkep, daik, senayang dan sekitarnya . dengan ini saya mengundang saudara semua untuk berpartisipasi di blog ini dengan menyumbangkan tulisan-tulisannya baik saran untuk kemajuan kabupaten lingga ini, tentang politik,berita, tulisan bebas, curhat, puisi pantun, menu masakan dan sebagainya(tetapi tidak dibenarkan menulis yang bersifat sara, menghujat, menghina serta yang bersifat tidak beretika). sengaja saya mengharap tulisan karya anda semua tiada lain untuk memberi sumbangsih untuk kemajuan daerah kita bersama , serta bisa menjadi media kontrol sosial, dan yang pasti untuk mempererat tali persaudaraan kita semua agar kita mampu bersatu untuk mewujudkan daerah yang mempunyai masyarakat berpikiran berwawasan luas. jika anda tertarik langsung isi saja tulisan anda dikotak dibawah ini jangan lupa isi nama (maaf jika tanpa nama tidak bisa saya publikasikan di blog ini.

nama anda
email(jika tidak ada email isi dengan email ini dinotakim@gmail.com)
judul tulisan
Message
Image Verification
captcha
jangan lupa isi angka yang disamping didalam kotak :
[ Refresh Image ] [ What's This? ]


jika memang banyak para putra-putri lingga yang menyumbang tulisannya di blog ini, insya ALLAH, blog ini akan saya rubah menjadi website yang berisi semua tulisan kita para penerus generasi terhebat di kabupaten lingga yang kita cintai yang mungkin akan saya optimalisasikan agar bisa mengindonesia.

............salam admin..............