Thursday, October 22, 2009

Memang Apa Salahnya Jadi Orang Desa?


Kamis sore sepulang kuliah saya mampir ke Pentagon Digital Color Print depan pasar Karangmenjangan untuk cetak foto. Kata teman saya, disana lumayan murah meski memang kualitas gambarnya tidak begitu bagus. Kita bebas mencetak berapa pun foto dalam satu lembar kertas foto ukuran 1OR hanya dengan biaya Rp 10.000,-.
Awalnya, interaksi saya dengan si mas-mas (pencetak foto) hanya berkisar mengenai ukuran foto yang akan dicetak. Beberapa saat si mas-mas sibuk klak-klik mouse, meng-edit foto yang sebenarnya sudah saya edit ( maklum masih amatir, jadi kerjaan saya ga ngaruh kali). Akhirnya setelah beberapa lama proses print pun selesai. Si mas menyodorkan hasil foto yang telah dicetak pada saya sambil senyum-senyum ga jelas. Belum sempat saya menanyakan harga keseluruhan, tiba-tiba si mas bertanya, “Habis mudik ya mbak?” tanyanya masih dengan senyuman lebar yang ga jelas maksudnya.
Kening saya berkerut, pikir saya, ih… ngapain sih ni mas-mas tanya-tanya, mau tau aja urusan orang. Namun demi kesopanan, saya tersenyum sambil mengangguk. Mungkin si mas ini termasuk orang ramah yang gemar bertanya kabar pada orang asing.
Tapi ternyata pertanyaannya berlanjut, bahkan meruncing.
“Mudik dari desa ya mbak?” tanyanya innocent.
“Kok?” saya pun ikut-ikutan sok innocent.
“Dari setting potonya pedesaan semua” jawab si mas. (Kebetulan sebagian foto yang saya cetak memang foto-foto saya saat lari pagi bersama keponakan saya di jalan ujung desa, dimana terlihat pemandangan sawah, gunung, dan jalanan desa yang sepi tapi indah).
“ Mbaknya dari desa ya?” si mas rupanya tak sabar lagi dan langsung nyelutuk bahkan sebelum saya sempat menjawab.
Jujur, untuk sesaat saya speechless tanpa tahu harus berkata apa. Eh ada mas-mas lain yang ikut nimbrung. Mungkin baginya topik ini merupakan sesuatu yang menarik diantara timbunan pekerjaannya yang menjemukan.
“Pasti desanya di luar jawa, ya kan mbak?!” tebaknya dengan penuh keyakinan.
“Bukan…” jawab saya berusaha sabar,( saya ini kan orang desa, jadi harus sabar… sabar…)
“Jadi mbaknya emang dari desa ya?” si mas yang tadi rupanya masih penasaran.
“Pendatang di Surabaya datang dari mana lagi kalau bukan dari desa, mas?” jawab saya ketus. Pengennya saya tambahin “ Memangnya masnya datang dari mana mana kalo bukan dari desa juga? Las Vegas?”
Dua mas-mas iseng itu pun tersenyum puas mendengar jawaban saya.
Tanpa menunggu pertanyaan selanjutnya yang pastinya akan menyudutkan saya sebagai orang desa, saya langsung menyodorkan uang pembayaran biaya cetak foto. E si mas-mas lagi-lagi tersenyum dan berkata “ Bayarnya bukan disini mbak, tapi di sana…” katanya sambil menunjuk ke arah yang bagi saya tidak jelas.
“Dimana mas?” tanya saya bingung karena ada dua pegawai di arah yang ditunjuk si mas.
“Di mbak yang itu…” jawab si mas masih ga jelas.
“Yang mana?” geram saya. Jelas-jelas ada banyak mbak-mbak.
“Yang itu, mbak-mbak with kaos BLUE” jawabnya sambil senyum-senyum, mengerling ke arah si mas yang satunya.
Saya pun melangkah pergi menuju mbak berkaos BLUE. Dalam benak saya bertanya, apa yang ada di kepala si mas pencetak foto itu? Apa mereka pikir meski saya tampak sebagai mahasiswa dengan setumpuk buku, namun karena saya dari desa, lantas saya tidak tahu apa itu BLUE, sehingga mereka mesti menggunakan kalimat “mbak berkaos BLUE” dan bukan “mbak berkaos BIRU” untuk mengintimidasi saya. Atau saya saja yang terlalu sentimen padahal si mas hanya bermaksud guyon?
Well, untuk pertama kalinya saya terpikir… memang apa salahnya jadi orang desa? Kenapa banyak orang, siapa pun itu apapun profesi dan statusnya, menjadi merasa lebih superior saat berhadapan dengan orang desa? Memangnya apanya yang salah menjadi orang desa sehingga term “orang desa” mengandung sebuah nilai status sosial yang lebih rendah ketimbah “bukan orang desa”?
Sejak kapan ada aturan bahwasanya orang desa berada satu tingkatan di bawah strata sosial orang kota? Sejak kapan orang desa selalu dianggap katrok, bodoh, miskin, tidak higienis, dan hal-hal yang serba minus lainnya? Bahkan kemudian muncul istilah “ndeso” yang berarti ketinggalan jaman. Bagaimana bisa kata “ndeso” bisa mempunyai makna negatif? Siapa yang bikin aturan? Kalau bukan hasil dari budaya kita yang salah kaprah.
Padahal kalau dipikir-pikir, hingga saat ini banyak sekali orang-orang yang notabene berasal dari desa telah sukses berkiprah di masyarakat bahkan menjadi orang besar. Sebut saja …, Inul Daratista sang ratu ngebor pun berasal dari desa kecil di Pasuruan, bahkan orang nomor satu negeri ini: SBY, berasal dari sebuah desa di Pacitan. Kurang bukti apalagi bahwa orang desa itu sungguh benar-benar bukan orang katrok apalagi bodoh. Mereka punya kapasitas lebih dari cukup untuk menjadi sukses. Tapi kenapa orang desa masih diidentikkan dengan konotasi negatif meski telah banyak orang desa yang berhasil membuktikan kapabilitasnya?
The answer is (according to me lho…), karena sayangnya, banyak orang desa yang ketika telah sukses, kemudian terlalu menikmati perannya menjadi orang besar yang kebetulan telah bertransformasi menjadi orang kota, sehingga lupa dengan desa mereka yang sebenarnya perlu dibenahi. Bahkan kadang lupa bahwa dirinya dulu juga orang desa ( seperti si mas tukang foto tadi mungkin?). Nggak munafik sih, mungkin saya pun akan cenderung begitu jika kelak menjadi seorang menteri misalnya (amiiiiin…), atau penulis best seller barangkali (double amiiiin), atau istrinya menteri juga gapapa, atau enakan jadi selebritis aja ya? ( halah ngelantur…).
Tapi sungguh, coba seandainya saja orang-orang desa yang telah sukses dalam bidangnya mau kembali ke desanya dan membenahi masyarakat serta kehidupan disana. Tentu seseorang tidak akan dipandang rendah lagi hanya karena mereka berasal dari desa.
Kondisi semacam ini memang tak bisa diubah hanya dengan kesadaran satu dua orang saja. Saya sadar sebenarnya ini jauh lebih complicated karena ini menyangkut tatanan budaya dan paradigm masyarakat yang terlanjur mengakar kuat dalam masyarakat kita. Dan yang tentunya akan terasa dan terlalu berat bila dibahas disini. Well, last but not least… all I want to say is that I am a villager, grasroot, or maybe even a clodhopper! And I am very proud of it. No matter what they say! And I hope I can become one of hopeable villager that can built a better condition and not just talking too much in this note. What about you? ^_^

No comments:

Post a Comment