Tuesday, March 22, 2011

Apa Salahnya Jadi Mahasiswa Sastra?





Di depan fakultas tercinta ^_^

Apa salahnya jadi mahasiswa sastra? 
Pertanyaan itu seringkali muncul di benak saya. Eh, tunggu dulu deh... memangnya ada yang salah ya sampai-sampai pertanyaan itu muncul dan cukup menghantui perasaan saya? Hmm, ada banyak alasan tentunya. Pertama, kalau kalian bertemu seseorang, lalu tau kalau orang itu kuliah di jurusan sastra, apa yang muncul di benak kalian untuk pertama kalinya?
·         “Wow! Cool ! Pasti nih orang luas banget pengetahuannya! Ck ck ck...”
·         “Wuah! Keren deh... aku juga pingin ambil jurusan sastra ah kalo kuliah nanti!”
·         “Hmmm, sastra ya? Pantesan orangnya nyante gitu. Kuliahnya gampang sih! Ga pernah masuk juga bisa lulus kok!”
·         “Oooooh, sastra ya? Kirain apa... aduh, nggak usah belagak gaya deh...”
·         “Aduuuh, sastra? Apa sih menariknya belajar bahasa gitu? Point-nya apa gitu looooh?”
Hmmm, jujur deh... jawaban mana yang mewakili perasaan kalian? Saya berani bertaruh pasti tiga jawaban terakhir adalah yang mendominasi benak orang-orang pada umumnya dalam memandang mahasiswa jurusan sastra. Ya walau mungkin nggak seektrim itu, tapi minimal general opinion-nya sama. Ngaku deh!

Saya tidak akan menyalahkan orang yang masih berpandangan (sempit) bahwa jurusan sastra adalah bidang ilmu yang tidak bergengsi, tidak aplikatif, tidak berguna, terlalu remeh dan mudah, and so on. Sebagai mahasiswa jurusan sastra (baca: open minded) saya maklum adanya kalau kebanyakan orang di sekitar saya masih berpandangan seperti itu. Saya mengerti, dengan latar budaya dan ekonomi seperti di Indonesia, wajar kalau orang masih belum bisa menghargai apa itu sastra. Taraf hidup dan kesejahteraan orang Indonesia yang masih berada di level menengah ke bawah membuat mereka lebih menghargai bidang ilmu yang terlihat lebih aplikatif dan yang manfaatnya bisa dirasakan nyata untuk semua kalangan, seperti ilmu kedokteran misalnya.  
Tapi kadang saya benar-benar tak habis pikir ketika masih banyak teman mahasiswa yang seharusnya berpikiran luas dan jauh ke depan, tapi masih menunjukkan sikap yang konservatif. Mungkin dulu saya juga termasuk orang-orang berpandangan sempit itu. Ketika awal masuk kuliah dulu, saya memilih jurusan Sastra juga karena terpaksa (akhirnya terbongkar juga kedok saya ^^). Karena saya mengikuti tes masuk PT melalui jalur beasiswa depag, saya hanya bisa memilih antara jurusan sastra dan psikologi. Karena sudah banyak teman yang memilih psikologi, saya melihat peluang sastra lebih aman. Meski agak ragu, akhirnya saya memilih sastra setelah diyakinkan oleh guru saya. Dan Alhamdulillah, prediksi saya tepat. Saya akhirnya lolos mendapatkan beasiswa Depag untuk kuliah di jurusan sastra (baca: sastra inggris).
Belum masuk ke dunia perkuliahan, saya sudah menemui beberapa rintangan yang tidak mengenakkan. Salah satunya ketika salah seorang kerabat saya mengetahui kalau saya diterima di jurusan sastra inggris, dia justru berkomentar “Kenapa nggak coba lewat SPMB aja lagi? biar bisa masuk ekonomi. Atau paling nggak fisip lah. Lebih mending...”. Aduuuh, sumpah! Hati saya mencelos mendengar perkataan bernada enteng itu. Saya tahu, mungkin bukan maksud dia menyakiti hati saya. Namun jujur, kata-kata seperti itu keluar dari mulut seseorang yang berpendidikan agak kurang masuk akal menurut saya.
Dan semua itu berlanjut hingga kini, ketika saya sudah berada di penghujung tahun perkuliahan. Sempat beberapa kali mendengar selintingan tak mengenakkan bagaimana orang lain (baca: mahasiswa jurusan lain) menganggap tugas kami (mahasiswa sastra) itu jauh lebih mudah dan enteng dibanding mahasiswa jurusan lain. Tugasnya lebih sedikit dan ringan, lebih banyak waktu luang, tak perlu repot-repot praktikum atau penelitian lapangan, cukup baca buku doang bisa dapat IPK cumlaude. Enak bener ya kuliah sastra? Mungkin begitu pikir mereka. Atau mungkin ada juga yang berpikir, aduh... boring banget kayaknya jadi mahasiswa sastra! -_-“
Pernah suatu kali saat saya mengikuti sesi wawancara student exchange, saya berkenalan dengan seorang mahasiswa jurusan psikologi. Setelah berkenalan basa-basi, dia bertanya jurusan apa yang saya ambil. Ketika saya menjawab “sastra inggris”, dengan muka innocent-nya dia bertanya lagi, “Apa menariknya sih kuliah sastra inggris? Cuma belajar grammar gitu doang kan? Apa point-nya?”. Mungkin kalau pertanyaan itu datang dari orang awam yang tidak pernah merasakan bangku kuliah, saya bisa memaklumi. Tapi kali ini seorang mahasiswa yang mengucapkannya, jurusan psikologi pula! Saat itu saya tidak menjawab apa-apa kecuali tersenyum getir, yang ada di kepala saya hanya “Saya juga ngga ngerti kamu kuliah di psikologi, kalau cara berbicara yang sopan dan menghargai hati orang lain saja kamu sama sekali nggak becus!”
Well, sebenarnya masih banyak kejadian-kejadian menohok hati yang saya alami, di kampus, di jalan, di bus, bahkan pernah saat saya berada di travel saya ditakdirkan menghadapi ibu-ibu yang super duper konservatif. Ibu itu menanyai saya mengambil jurusan apa (seperti biasa), ketika saya mengaku ambil jurusan sastra, tanpa saya minta dan dengan bangganya ibu itu menceritakan dengan detail bagaimana hebatnya anaknya yang berhasil lolos kedokteran Unair. “jaman sekarang ya mbak, emang kalau nggak benar-benar yang pinter, susah masuk kedokteran. Tapi ya memang kedokteran itu yang paling banyak diminati, soalnya paling bergengsi dan menjanjikan” begitu ceramah ibu itu. Saat itu seperti biasa saya hanya bisa tersenyum (dalam hati ingin memaki).
Yang paling tidak bisa saya tolerir (meski tetap tidak bisa berbuat apa-apa ^^) adalah ketika ada orang yang menganggap skripsi anak sastra itu remeh dan jauh lebih mudah dibandingkan skripsi jurusan lain. Yang tidak bisa saya terima, saya sebagai mahasiswa satsra tidak pernah meng-under estimate jurusan lain apalagi menganggap pekerjaan menyelesaikan skripsi adalah persoalan yang mudah. Bagi saya, karena saya tidak tahu banyak seluk beluk ilmu yang mereka ambil, tidak fair bagi saya untuk memberikan judgement semacam itu. Tapi rupanya, banyak yang tidak sependapat dengan saya. Just for your information, saat ini saya tengah menggarap skripsi dengan objek film My Name is Khan. Bagi yang tidak pernah tahu ilmu literatur, mungkin akan menganggap aneh dan sangat kurang kerjaan. Yang benar saja, skripsi kok bahas film india! Bahkan ada seseorang yang berkomentar, “Hah? Film dijadiin skripsi? Bukannya film tu buat tontonan dan hiburan doang ya? Trus diapain tuh film india?”
Hahaha, karena intensitas mengalami celotehan orang yang merendahkan bidang ilmu saya, lama-lama saya jadi kebal dan justru ingin tertawa kalau menghadapi orang-orang seperti itu. Ya, mengapa harus marah? Karena sebenarnya mereka-mereka ini hanya belum mengerti saja, pikirannya belum terbuka, sebetulnya ka;au boleh jujur... mereka justru berada jauh di bawah saya karena ternyata belum bisa menghargai dan mengerti manfaat dari satu bidang ilmu.
Asal tahu saja, menganalisis sebuah film itu bukan perkara gampang lho. Meski memang benar, saya tak perlu capek-capek penelitian lapangan, namun sungguh (Demi Allah!) semuanya juga butuh perjuangan dan tenaga ekstra. Bukan hanya aspek naratifnya saja, tapi saya juga harus membedah aspek non-narrative-nya juga. Saya tidak cukup memahami theory stereotype untuk bisa menganalisis film ini, tapi juga butuh pemahaman bagaimana cinematography sebuah film memberikan arti tertentu. Dan menurut saya, hal itu tidak mudah. Dan yang terpenting, mengingat saya jurusan sastra inggris maka skripsi dan sidang saya kelak haruslah menggunakan bahasa inggris yang baik dan benar. Bagi orang yang berkapasitas pas-pasan seperti saya, tentu saja itu tidak mudah. Kami tidak hanya harus memastikan analisis dan theory yang kami pakai itu capable, tapi juga gramatical penulisan kami haruslah sudah benar. Jadi apakah adil, dengan fakta seperti itu masih ada orang yang meremehkan jurusan sastra?
Kadang saya juga tidak luput dari pesimisme akan prospek ke depan jurusan sastra. Mau jadi apa kalau lulus nanti? Well, kalau kita kuliah masih dibayang-bayangi pertanyaan seperti itu, maka kita hanya akan diam di tempat dan menjadi orang yang terkungkung dengan opini publik. Memang benar, untuk bisa benar-benar mengapliaksikan ilmu saya (saya mengambil konsentrasi literatur), seyogyanya saya melanjutkan ke jenjang S2. Namun menurut saya, kalau pun toh nantinya saya tidak mendapatkan kesempatan untuk lanjut S2, ada banyak hal bisa saya aplikasikan dari ilmu ayng telah saya pelajari ini.
Halah! Paling mentok-mentoknya juga jadi guru bahasa inggris! Gitu aja kok repot! Nggak usah muluk-muluk deh...
Mungkin akan banyak yang mencibir seperti itu. Kalau memang itu benar, apa salahnya menjadi seorang guru? Meski sebenarnya kuliah di sastra sama sekali bukan diarahkan untuk menjadi guru (bedakan jurusan sastra inggris dan pendidikan bahasa inggris ^^), namun apa ada yang salah dengan menjadi seorang penyalur ilmu (baca: guru)? Tanpa keberadaan guru SD bahkan guru TK, kalian yang kini kuliah di jurusan bergengsi seperti kedokteran dan semacamnya itu, tentu tak akan pernah bisa sampai ke bangku kuliah tak peduli sejenius apapun otak kalian. (balas dendam ceritanya?^^)
Asal kalian tahu, saya mendapatkan buanyaaaak hal dari kuliah di jurusan sastra. Mungkin kalian mengira kami hanya belajar bahasa, grammar, dan semacamnya itu. Tenang, saya maklum kok. Hehe. Tapi kalau saja kalian mau membuka pikiran sedikiiit saja, posisi ilmu sastra itu sesungguhnya berada di paling atas, sastra adalah payung dari bidang ilmu lain, seperti kedokteran, psikologi, matematika, biologi, dan lain sebagainya. Sederhananya, kalau kalian tidak mengerti apa itu bahasa, mana mungkin kalian bisa mengerti ilmu-ilmu lain yang kesemuanya tidak akan bisa ditransfer tanpa keberadaan bahasa?
Dan yang lebih penting lagi, di jurusan sastra, kami mempelajari banyak sekali hal-hal yang mungkin tidak pernah dianggap penting di jurusan lain namun sebenarnya teramat penting (hehe mbulet.com). Di jurusan sastra, saya belajar Reading text,  saya jadi tahu bagaimana ideologi selalu bersembunyi dalam sebuah teks (teks disini bisa berarti tulisan, film, iklan, maupun fenomena sosial). Sebagai seorang wanita saya juga merasa beruntung karena jadi tahu sedikit banyak tentang feminisme dan bagaimana seharusnya saya bersikap di tengah budaya patriarki. Kami juga diajari apa itu semiotic, studi tentang simbol yang membuat kami lebih faham dan aware pada setiap makna yang terkadung dalam setiap hal yang kita temui sehari-hari. Tentu masih banyak lagi hal-hal menarik yang membuat saya menjadi makin jatuh cinta pada ilmu sastra, yang tidak mungkin saya pamerkan satu-satu disini. ^^
Saya merasa ilmu sastra mampu mencerdaskan manusia, memberi arti lebih dalam hidup seseorang. Membuat kita tidak hanya berpikir soal materi dan kesuksesan berkarir. Lebih dari itu, sastra membantu saya memahami hal-hal secara lebih mendalam yang tidak ditawarkan oleh bidang ilmu lain (eit, bukan berarti saya meremehkan ilmu lain looo ^^)
Tanpa ilmu sastra, tidak akan bisa sebuah negara berdiri dengan kokoh. Lihat saja, tanpa kritikan dan masukan dari para sastrawan dan pengamat budaya, apa jadinya Indonesia yang sudah bobrok ini? Haha, kalau kalian masih ragu dengan kehebatan dan betapa dibutuhkannya orang-orang sastra, silahkan datangi saya. Hoho. Saya bisa menunjukkan orang-orang hebat itu, yang tentu saja saya belum termasuk di dalamnya (hoho... semoga suatu saat bisa jadi orang hebat juga, kekeke...). Hal yang menyedihkan bagi saya adalah ketika masih ada mahasiswa sastra yang belum bisa bersikap sebagaimana seharusnya.
Sejauh ini, jika masih ada yang memandang rendah jurusan sastra, saya berusaha kalem dan tidak terbawa emosi, plus mengingat kata-kata dari salah seorang dosen saya, “Jangan salah, kalau di negara maju, bukan mahasiswa kedokteran yang disanjung-sanjung, tapi justru orang yang menguasai ilmu literatur”. So... setelah membaca tulisan ini, masih adakah diantara kalian yang menganggap ilmu sastra itu cenderung remeh dan tidak ada gunanya? ^^


No comments:

Post a Comment