Monday, December 7, 2009

Journey to FIB Unair (Part 2): Dari Pelosok Magelang, Kesasar Di Tengah Hiruk Pikuk Surabaya…

Setelah dinyatakan lolos di tingkat provinsi ( saat itu ada dua orang wakil Jogja, saya dan Ifa dari MA. Ali Maksum), saya pun harus meneruskan perjuangan ke kota pahlawan. Kota asing yang belum pernah saya kunjungi. Karena tidak ingin merepotkan keluarga dan guru-guru di sekolah, saya nekat berangkat ke Surabaya bersama Ifa. Alhamdulillah Ifa punya saudara yang tinggal di Surabaya, jadilah saya ikut numpang menginap di tempat saudara Ifa, plus numpang makan tentunya ^_^.

Hari tes pun tiba. Saat itu peserta beasiswa Depag mengikuti jalur tes PMDK Umum. Alamaaak… banyak betul pesaing saya. Mereka terlihat percaya diri. Dan konon dari 100 peserta yang mengikuti tes, hanya 33 yang akan diterima. Waduh, lagi-lagi kepercayaan diri saya dipermainkan oleh keadaan. Setelah jalan-jalan ke Delta dan TP, esoknya saya kembali ke Jogja, masih ada tes baca kitab kuning untuk kelulusan pesantren yang mesti saya jalani. Dan tiba-tiba saja, saya kembali terjebak dalam rutinitas pesantren namun sekaligus tak bisa melupakan bagaimana nasib saya pada beasiswa itu. Apakah perjuangan saya hingga ke Surabaya kemarin hanya akan sia-sia?

Empat hari setelah tes adalah hari pengumuman peserta PMDK Umum yang lolos. Pagi-pagi saya sudah minta guru saya (PAK BI) agar melihat pengumuman di internet. Deg- degan tak karuan menunggu Pak.BI membawa hasilnya. Sekitar jam 10.00 pagi saya dipanggil ke kantor. Pak BI menyambut saya dengan senyum ramah seperti biasa. Bukannya langsung memberi tahukan hasilnya, beliau malah berceramah tentang bagaimana kita harus berjuang dalam hidup untuk mencapai cita-cita. Beliau bercerita bahwa beliau juga tengah menunggu pengumuman CPNS atau apa gitu saya lupa lupa ingat. Hehe. Dan akhirnya setelah berpanjang lebar dan saya hanya terdiam tak sabar, beliau memberi tahu… bahwa saya… sayangnya belum termasuk dalam daftar peserta yang lolos. Tak terkira bagaimana kacaunya perasaan saya saat itu. Terbayang jerih payah perjuangan dari awal hingga harus jauh-jauh ke Surabaya, benarkah hanya sampai disini begitu saja? Tak ada hasil dan begitu pun dengan luapan kegembiraan. Hanya hampa yang tersisa. Perasaan di dalam bergemuruh, namun saya pura-pura tersenyum dan mengatakan “Taka Apa-apa” dengan sok tegarnya pada Pak.BI. Namun lama-lama mata saya memanas, rupanya air mata tak bisa terkendali. Sebelum tumpah di depan Pak.BI, saya segera meminta diri, keluar dari kantor dan lari sekencang-kencangnya ke kamar mandi. Disana saya menangis. Menangisi semua perjuangan dan harapan saya yang tiba-tiba terasa sia-sia. Untuk apa Tuhan meberi saya harapan dan semangat berjuang jika akhirnya hasilnya mengecewakan seperti ini? Keluh hati saya yang marah kala itu.

Dalam sedih dan keputus asaan yang mendalam, cieee…, teman-teman saya tak henti menghibur saya. Mereka mengusulkan agar saya mengecek sendiri di internet untuk memastikan, siapa tahu tadi Pak.BI salah memasukkan nomor peserta saya? Harapan yang meski tipis pun perlahan mulai memenuhi benak saya. Namun karena masih dalam masa berkabung, saya tak ada daya dan kekuatan untuk berjalan ke warnet, akhirnya salah seorang Ustadzah bersedia membantu saya mengecek lagi ke warnet. Sepuluh menit, setengah jam, saya menunggu kepastian dalam galau yang tak berkesudahan. Namun saat Ustadzah saya datang pun, jawabannya masih sama. Nama saya tidak ada dalam daftar. Maka bertambah pula duka di hati saya. Semakin mempertegas bahwa mungkin saya memang harus ikhlas menerima kenyataan. Teman-teman dan guru-guru menasehati bahwa masih banyak peluang di luar sana. Hati sih mencoba untuk ikhlas, tapi entah mengapa tidak dengan air mata saya. Setiap hari sejak hari berduka itu saya seperti tak bisa berhenti menangis. Entah apa yang saya tangisi. Padahal saya juga sudah tahu bahwa semua akan baik-baik saja, toh ortu di rumah sudah menenangkan bahwa saya masih bisa kuliah di tempat lain. Mungkin saya hanya menyesal tak bisa membahagiakan ortu dengan beasiswa itu.

Hari demi hari saya lalui dengan semangat yang tinggal senin-kamis. Ujian-ujian sekolah dan ujian praktik saya jalani dengan setengah-setengah. Dan percaya tidak percaya, tiap malam saya nangis sambil memandang bulan, sendirian di jemuran (Gubrak!! Cengengnya…). Tapi itulah penghargaan saya atas sebuah mimpi yang gagal teraih. Begitu sulit saya melupakannya. Sampai-sampai banyak guru yang seperti prihatin melihat saya, sebagian mereka terus menasehati saya agar saya bisa menerima kenyataan dan semangat melanjutkan hidup. Bahkan pernah Pak.BI sampai mengirimi saya makanan karena tahu saya masih terpuruk. Bapak guru satu ini memang selalu perhatian dengan murid-muridnya.

Hingga akhirnya ujian sekolah pun usai. Karena tak ada lagi kegiatan, dan wisuda pun masih lama, saya menelpon rumah minta dijemput. Saya tak sanggup lagi menjalani hari-hari yang menjemukan di pesantren dengan mimpi yang telah kandas (Lebay mode on). Di rumah, kerjaan saya pun hanya tidur-tiduran, makan, nonton tv, maen game, dan merenungi nasib, ^_^. Iseng saya mengontak ifa, menanyakan kabarnya. Ternyata namanya pun tak masuk dalam peserta yang lolos.

Namun karena nasehat ibu saya, saya tetap berdoa pada Tuhan, minta diberikan kemudahan. Sampailah pada suatu hari, saat itu, siang bolong… saya tengah nonton tv seorang diri sementara seluruh keluarga sedang pergi. Tiba-tiba Hp saya bordering, ada telpon dari guru saya di Jogja. Pak Samson. Dengan suara terburu, tiba-tiba saja beliau mengatakan kalau ada surat pemberitahuan dari Depag bahwa saya lolos beasiswa ke UNAIR! Dengan terkejutnya saya bilang bahwa itu tidak mungkin. Saya curiga jangan-jangan Pak. Samson hanya berbohong untuk menghibur saya. ( Bodohnya saya saat itu, ngapain guru bohong pada muridnya?). Karena saya masih keukeuh tak percaya, akhirnya Pak.BI yang member tahu saya, dan saya pun baru bisa percaya.

Sungguh, siang itu menjadi salah satu siang terindah dalam hidup saya. Mengetahui bahwa Tuhan masih menggenggam mimpi saya dan memberi kesempatan untuk hambanya yang cengeng ini. Dan karena saat itu romah lagi kosong, saya jingkrak-jingkrak sendiri tak karuan, lari-lari kecil, tertawa-tawa sendiri (menertawai cengeng-nya saya), dan tak sabar memberi tahu orang tua dan kakak-kakak saya.

Dan begitulah cerita panjang saya hingga saat ini saya berkesempatan belajar di FIB Unair dan menjadi bagian dari keluarga besar penerima beasiswa Depag. Kisah yang panjang, melelahkan, dan penuh air mata. Namun satu yang berharga, bahwa lika-liku yang saya alami telah memberi satu keyakinan dalam diri saya, bahwa segala sesuatunya itu mungkin. Tak peduli seberapa liar mimpi kita dan seberapa bodoh kita, namun jika kita berusaha dan berdoa dengan sungguh-sungguh, maka pasti Tuhan akan memperkenankannya.






No comments:

Post a Comment