Monday, June 1, 2009

Dia yang Masih Bertahan



"Fotografi itu bagaimana kita menelaah cahaya. Itu Kuncinya."


Hari ini hari Minggu, biasanya banyak orang melepas penat ke sekitar Alun-alun Kota Bandung. Namun hari ini tidak terlalu banyak pengunjung. Tatang, pria paruh baya, berjalan di sekeliling Alun-alun. Sebuah kamera Fujica analog kusam terus dikalunginya. Tangannya memegang beberapa lembar foto hasil jepretannya.

Siang itu, di alun-alun begitu terik. Tatang masih terus berjalan menyusuri, mencari peruntungan. Terkadang ia menghampiri orang-orang sambil berucap “Ibu, bade foto? Untuk kenang-kenangan.” Jika diacuhkan, Tatang tetap tersenyum dan kembali lagi berjalan.

“Dulu saya sempat jualan, tapi karena hanya lulus SMP, ya saya jadi tukang foto amatir sampai sekarang, “ ujar Tatang. Baginya, fotografi memberikan peluang untuk menghidupi keluarganya. “Dulu sih saya jadi tukang foto keliling, tapi lama-lama cape, ya jadi tetep aja di sini. Lumayan kalau dulu pendapatannya bisa ngebiayaain empat anak, “ lanjut Tatang. Perlu diketahui, Tatang sudah menjadi penawar jasa foto sejak tahun 1977.

Bagi sebagian besar orang, invasi besar-besaran dari era teknologi digital banyak memberikan keuntungan. Namun tidak bagi Tatang. Terus berkembangnya si digital, semakin menyudutkan si analog. Ini berarti peluang usaha Tatang semakin hari semakin dipojokan. “Saat ini sudah banyak yang digital, pendapatan otomatis berkurang sekali, “ ujarnya.

Tarif yang ditawarkan oleh Tatang tidak menentu. “Sekitar 10.000 rupiah sampai 15.000 rupiah, tapi kadang ada juga yang Cuma 5000 rupiah, “ jelasnya. Namun Tatang tetap mensyukuri itu. “Ya kalau beruntung dalam sehari bisa mencapai 50.000 rupiah. Yang penting mah bisa nutupin untuk makan,” lanjut Tatang sambil tertawa.

Tatang mendalami dunia fotografi secara otodidak. Selama mejadi tukang foto keliling, Tatang semakin mengerti seluk beluk fotografi. “ Fotografi itu bagaimana kita menelaah tentang cahaya. Itu kuncinya, “ kata Tatang ketika ditanya mengenai arti fotografi bagi dirinya.


Tatang sendiri tidak mengerti mengapa dirinya bisa bertahan dengan sebuah kamera analog hingga hari ini. “Saya pernah juga kerja yang lain, tapi ya ujung-ujungnya balik lagi ke foto. Mungkin susah kalau sudah terlalu cinta,” ujarnya.

Ketika Tatang bercerita, tiba-tiba seorang bapak dan anaknya menghampiri Tatang. Kemudian ia memberi dua lembar foto kepada bapak itu. “Lumayan untuk kenang-kenangan,” ujar si bapak sambil memberikan pecahan uang lima ribuan kepada Tatang.
“Nuhun Pak,” Tatang membalas dengan senyuman.

Alun-alun sudah mulai mendung. Kami harus segera beranjak.Masih banyak yang harus dikerjakan. Tatang pun masih harus bekerja lagi hingga petang. Tentunya dengan kamera analog kesayangannya.

No comments:

Post a Comment