Monday, April 19, 2010

Dilema Perfilman Kita

Dua hari yang lalu saya menonton acara John Pantau. Episode kali ini si John merazia artis-artis dan sutradara yang biasa membintangi dan memproduksi film-film ber-genre horor  plus-plus (baca: berbumbu adegan vulgar). Saat John meminta komentar mereka, jawaban-jawaban yang terlontar dari mulut mereka sungguh membuat saya tercengang.
Salah seorang artis yang ditemui John (entah siapa namanya, artis ini tidak begitu terkenal), dengan tenangnya mengatakan bahwa adegan hot yang dilakoninya dalam sebuah film tergolong masih wajar-wajar saja. Sang artis lalu menyebutkan beberapa adegan seperti kissing, setengah toples, dll. Dan bagi sang artis, semuanya masih dianggap wajar. Lalu saat John berganti menginterogasi seorang sutradara yang dinobatkan sebagai sutradara paling produktif mengingat dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun ia bisa memproduksi 12 film horror berbumbu seks. Dengan muka dihiasi senyum tak berdosa, sang sutradara berkata bahwa filmnya selama ini ditunggu-tunggu penonton justru karena adegan buka-bukaannya (Gubrakkkkk!!!). Ia menambahkan bahwa film buatannya sama sekali tidak porno karena masih mempunyai plot atau alur cerita, tidak semata-mata berisi adegan porno.

Tayangan lalu berganti saat John mewawancarai beberapa anak usia SMP dan menanyai perihal yang membuat mereka merasa tegang saat menonton film horror Indonesia. Dengan serentak dan kompak mereka menjawab, “Yang bikin tegang ya tubuhnya Dewi Persik laaaaah…”.
Jawaban anak-anak SMP itu menjadi salah satu potret bagaimana anak Indonesia di masa mendatang bila para film maker kita terus menerus berhibernasi dari akal sehatnya dan mengedepankan rasio bisnis mereka. Sebagai orang dewasa yang sebenarnya juga turut bertanggung jawab atas perkembangan anak  bangsa, tidak seyogyanya mereka pura-pura tidak merasa berdosa atas apa yang mereka lakukan. Namun itulah gambaran dunia perfilman kita. DI tengah optimisme pemunculan sutradara-sutradara berbakat yang memproduksi film-film berkualitas dan layak tonton seperti Riri Reza dengan Laskar Pelangi-nya, kita tidak bisa menampik fakta bahwa Indonesia kini lebih ramai dengan sutradara tak bermoral yang hobi bikin film horor plus-plus. Dari Tiren sampai Tiran, dari Suster Ngesot sampai Suster Keramas, dan sederet judul-judul film lain yang mengusung visi serupa.
Orang tua memang menjadi tameng paling ampuh untuk membentengi para anak bangsa dari ancaman film-film berbahaya yang bisa merusak moral mereka. Namun hal itu tidak serta merta menjadikan film maker kita bisa lepas tangan. Sang sutradara yang ditemui John bahkan mengatakan “Jangan salahin kita dong bikin film beginian, salahin orang tua”. Yang terpikir di benak saya saat mendengarnya adalah, apakah sang sutradara tak pernah berpikir kalau kelak ia juga akan menjadi orang tua yang bertanggung jawab penuh atas masa depan anak-anaknya? Namun begitulah, mungkin peluang bisnis yang menggiurkan membuatnya tak peduli akan apa yang bisa ditimbulkan dari film buatannya.
Sejauh ini, ada beberapa film Indonesia berbumbu plus-plus yang pernah saya tonton. (Catatan: kalau tidak dipinjemin teman atau dikasih copy-annya, saya tidak akan punya keinginan dan waktu untuk menontonnya, itupun saya tonton dengan men-skip beberapa scene). Pertama Tiren yang dibintangi Dewi Persik dan Aldi Taher, lalu Pulau Hantu yang dibintangi Ricky Harun, Kawin Kontrak 2 juga dibintangi Ricky Harun, dan terakhir MBA dibintangi Nikita Willy. Dari keempat judul film tersebut, hanya Kawin Kontrak yang sebenanrya mempunyai ide cerita yang lumayan menarik. Memotret realita kawin kontrak yang berkembang di sebuah desa di suatu kota di Indoensia. Namun sayang, sang sutradara justru meramunya dengan bumbu komedi yang kental dengan adegan tak senonoh, yang justru menjadikan film itu tak ubahnya film-film komedi seks kebanyakan. Jauh dari kata berbobot dan layak tonton. Sedangkan ketiga film lainnya, Tiren, Pulau Hantu, dan MBA, sejujurnya hanya merupakan re-make film-film dewasa kita yang dibuat tahun 70-80-an. Tak ada yang baru dan segar yang bisa kita temui dari ketiga film tersebut. Dari jalan cerita, sejak awal mudah sekali ditebak. Kalau boleh saya jujur, hampir tak ada moral value yang bisa kita ambil dari ketiganya. Semuanya lebih suka mengeksplorasi tubuh wanita sebagai objek dan menggambarkan bagaimana wanita/remaja putri Indonesia bisa begitu bodoh merelakan dirinya dikendalikan oleh laki-laki. Serta bagaimana laki-laki/remaja putra Indonesia hanya bisa berpikiran tentang seks. Padahal saya yakin, banyak sekali wanita dan laki-laki negeri ini yang tidak seperti itu.
Sayangnya, sutradara-sutradara tersebut sangat cerdik memanfaatkan pangsa pasar. Remaja tanggung yang baru mengalami masa puber, tentu akan semakin penasaran dan ingin tahu saat membaca judul dan poster film-film bertanda kutip tersebut. Apalagi ditambah isu pro-kontra yang semakin menarik minat anak. Maka tanpa bisa kita kendalikan anak-anak kita justru gandrung dengan film-film model begituan. Kalau sudah begini, siapa yang patut disalahkan? Menurut saya, disamping orang tua yang memang memegang peranan terbesar, para film maker kita lah yang seharusnya paling bertanggung jawab bila pada saatnya nanti terjadi pergeseran nilai dan moral anak bangsa. Mereka tidak bisa lepas tangan begitu saja dan melemparkan semua tanggung jawab pada orang tua. Para film maker itu seharusnya menyadari bagaimana satu adegan kissing dalam filmnya bisa berpengaruh besar terhadap si penonton yang masih usia belasan.
Dalam pandangan saya, sebuah adegan kissing atau pun “yang lebih dari itu” dalam sebuah film bisa dikatakan “wajar”. Namun menjadi tidak “wajar” ketika adegan itu dimunculkan tanpa adanya keterkaitan yang kuat dengan cerita. Ditambah lagi bila adegan itu bertentangan dengan konteks budaya dan nilai yang digunakan dalam film tersebut. Saat saya menonton “Punk in Love”, jalan ceritanya lumayan unik untuk diikuti. Menonjolkan sisi unik kedaerahan dan komunitas Punk. Namun di akhir cerita ada sebuah adegan yang menurut saya tidak relevan yang justru menjatuhkan harga film itu di mata saya. Yakni adegan ketika Vino Sebastian akhirnya bertemu dengan gadis yang dicintainya. Di tengah kerumunan banyak orang di kawasan perumahan berpenduduk padat  mereka berciuman dan serta merta disambut dengan sorakan dan tepuk tangan. Pikir saja, meski budaya ciuman mulai menjangkiti muda-mudi Indonesia, namun dalam masyarakat kita, berciuman secara terang-terangan di depan khalayak ramai masih dianggap tabu. Lebih tidak masuk akal lagi, ketika diperlihatkan para orang tua yang menyaksikan adegan mereka justru bertepuk tangan. Sang sutradara seperti lupa bahwa setting film tersebut adalah Jakarta, bukan New York atau Las Vegas. Disini terlihat bagaimana sutradara terjebak oleh scene yang sebenarnya tidak perlu. Adegan kissing itu menjadi seperti dipaksakan untuk memberi kesan dramatis dan semata agar diminati penonton. Bahasa kasarnya, hari gene… nggak ada ciumannya???? 
Maka tidak heran jika lantas muncul pesimisme akan perkembangan perfilman Indonesia. Meski banyak film bagus mewarnai bioskop kita, namun selama film-film horror plus-plus itu tak berhenti diproduksi, maka gambaran masa depan anak bangsa kita masih patut dikhawatirkan.

No comments:

Post a Comment