Seringkali saat ada teman kuliah, tetangga kontrakan, tukang becak, atau penjual di pasar menanyai kota asal saya, mereka akan tercengang begitu mengetahui saya berasal dari Magelang. Sebuah kota kecil di Jawa Tengah sana. Maklum saja, tak banyak orang Magelang jauh-jauh kuliah sampai Surabaya. Sebagian mereka lebih memilih di Jogja atau paling jauh hanya sampai Solo saja. Dan di Surabaya pun, sebagian mahasiswa berasal dari daerah Jawa Timur saja, hanya sepuluh persen yang berasal dari luar Jawa Timur, itupun sangat langka ada yang berasal dari Magelang. Cerita lengkapnya begini,
Contoh kejadian 1: ( Terjadi di kampus)
Saya : Wah… homesick nih. Pengen pulang kampung. Udah lama nggak pulang ke rumah.
Teman : Kenapa nggak pulang pas weekend?
Saya : Weekend kan cuma dua hari doang! Capek di jalan lah.
Teman : La emang rumahmu mana sih?
Saya : Magelang.
Teman : Magelang? mana tuh? Deketnya Trenggalek ya? (Gubrakkk!)
Saya : (Dalam hati: Deket Trenggalek dari hongkong?), Magelang masa nggak tahu sih? Yang ada Candi Borobudurnya itu loh. Sekitar tiga jam-an dari Jogja. Kalo dari sini sih, sekitar 13 jam perjalanan.
Teman : Wah, jauh banget!
Saya : (tersenyum mode on…)
Teman : Btw, kenapa kamu sampe kuliah jauh-jauh kesini? Kenapa nggak di Jogja aja yang deket?
Saya : …
Contoh kejadian 2: (Terjadi di tepi jalan raya saat saya menunggu travel)
Tukang becak : Nunggu apa mbak?
Saya : Nunggu travel pak.
Tukang Becak : mau kemana mbak?
Saya : Ke Jogja
Tukang Becak ( antusias): Wah, ke Jogja? Ngapain mbak?
Saya : Pulang kampung pak, asal saya dari sana. Tepatnya dari Magelang.
Tukang Becak : Jadi mbak bukan asli Surabaya sini? Disini kuliah?
Saya : iya pak.
Tukang Becak : Kuliah di Unair?
Saya : Iya pak.
Tukang Becak : Wah, berapa sekarang masuk Unair? Mahal pasti…
Saya : (mesam mesem nggak jelas. Dalam hati: ya iyyalah pak…)
Tukang Becak : Wah, pasti orang tua mbak bukan orang sembarangan. Nyekolahin anaknya jauh-jauh ke Surabaya, kalau orang biasa mana bisa?
Saya : senyum2 nggak jelas ( Dalam hati: Nih bapak belon tahu cerita yang sebenarnya)
Dua contoh kejadian di atas cukup menggambarkan keheranan orang-orang ketika mengetahui saya yang berasal dari jauh memilih kuliah di Surabaya. Memangnya sebagus apa sih Unair? Sampai membuat saya rela tak bisa pulang kampung kecuali saat libur karena jauhnya jarak antara Surabaya-Magelang. Padahal toh masih ada UGM yang notabene lebih bergengsi yang bahkan lebih dekat dengan kota asal saya. Hmmm… sebenarnya ada cerita yang cukup panjang yang melatar belakangi keputusan saya untuk kuliah di Unair. Dan saya pikir, setelah dua tahun berada di Surabaya, lucu sekali bila saya tak menuliskan cerita itu disini.
Well, cerita berawal saat saya duduk di bangku kelas tiga Aliyah. Saya bersekolah di Madrasah Aliyah Wahid Hasyim tercinta yang terletak di Jogja. Saat itu, saya dan teman-teman mulai sering memperbincangkan kemana kami hendak meneruskan studi selulus aliyah nanti. Dan nama-nama universitas yang kami sebut-sebut paling hanya berkisar UGM, UNY, atau Uin Suka. Tak pernah sekalipun terlintas di benak saya nama Universitas Airlangga. Paling banter Univ Muhammadiyah Malang, karena kebetulan ada kakak kelas saya yang studi disana.
Hari-hari di tahun terakhir aliyah saya jalani dengan penuh semangat meski tanpa ada gambaran dan target pasti universitas mana yang akan saya tuju ( Nggak niat banget ya saya?). Try- out2 dari sekolah saya lalui dengan nilai yang sebagian besar Alhamdulillah bagus. Hingga sampai lah pada saat dimana ada pengumuman beasiswa S1 dari Departemen Agama. Beasiswa ini memang sudah diadakan sejak tahun sebelumnya khusus untuk lulusan pesantren yang mempunyai prestasi bagus agar bisa melanjutkan kuliah di universitas2 negeri berkualitas seperti UGM, ITB, IPB, ITS, Uin Suka, Uin Syarif, IAIN Walisongo, IAIN Sunan Ampel, dan tentunya… UNAIR. Dua kakak kelas saya berhasil meraihnya (Di Uin Syarif Jakarta dan di UGM). Namun jujur saya tak pernah terpikir untuk mengikuti beasiswa ini. Selain pesimis dari awal karena banyak teman seangkatan saya yang lebih berpeluang, gosipnya sih tesnya sulit minta ampun… ada tes baca kitab kuning segala. Wah, langsung alergi saya! Hehe… Maklum, meski hidup lama di pesantren, saya lemah di ilmu alat (baca: nahwu shorof).
Saat itu saya beranggapan beasiswa itu adalah hal yang terlalu mustahil bagi saya. Sehingga saya lebih memilih ikut UM UGM meski juga dengan sejuta harapan kosong (motivasi iseng-iseng berhadiah bo!). Namun setelah saya berpikir cukup serius, kok rasanya target saya kuliah di UGM juga terlalu tinggi ya? Saat itu saya memasang Psikologi di pilihan pertama dan Ilmu Komunikasi di pilihan kedua, dengan SP3 paling minim yakni Rp 5.000.000,-. Banyak yang bilang persaingannya amatlah ketat, apalagi untuk saya yang lemah di matematika, belum lagi memikirkan uang semesteran nanti jika diterima, masih harus ditambah uang per-sks ( Ck ck ck… mahal betol UGM ni haaa…) ^_^
Saya pun menimbang ulang angan-angan saya kuliah di UGM. Sepertinya kemungkinannya kecil meski saya diterima. Hmmm saya pun jadi terpikir dengan beasiswa Depag tadi. Dan ketika tiba saat pendaftaran beasiswa Depag di sekolah saya, saya jadi agak2 kepengen. Kepsek memutuskan akan menyeleksi nama-nama yang mendaftar untuk diajukan ke Depag Jogja sebelum mengikuti tes tertulis. Wah, masih harus diseleksi ternyata! Nyali saya makin ciut, keinginan untuk mendaftar semakin menipis. Bagaimana tidak, ada begitu banyak teman saya yang jauuuh lebih punya kapasitas mendapatkan beasiswa ini. Saya yang lemah di matematika dan nahwu shorof ini, langsung mengkeret begitu mengingat cerita kakak kelas saya bahwa tes beasiswa ini meliputi tes matematika dasar dan membaca kitab kuning. Gubrak! Wassalam deh…
Namun ternyata, sampai pada batas akhir pendaftaran di tahap sekolah, baru ada satu siswa yang mendaftar. Dia teman sekelas saya yang memang jago di semua mata pelajaran. Namanya Nendi, cowok berjerawat yang gape baca kitab kuning, utak atik rumus mtk, dan b.ingg-pun oke punya. Nyaris tanpa cela. Saya tidak heran ia cukup percaya diri memasang Hukum UGM pada beasiswa itu. Saya ingat, pagi itu Pak Kepsek datang ke kelas khusus untuk mengungkapkan kekecewaannya mengingat hanya ada satu siswa yang berminat mendaftar beasiswa ini. Beliau menasehati kami untuk mempergunakan peluang yang ada sebaik mungkin. Beliau berkata bahwa hanya orang-orang pemberanilah yang akan sukses mendapatkan apa yang ia inginkan.
“ Padahal saya mengharapkan kalian mendaftar beasiswa ini. Dan saya yakin kalian bisa! Apakah kaliah tidak berminat? Bagaimana Aghis… Ade…” Pak Kepsek mulai menyebut nama-nama teman sekelas saya yang cukup mempunyai kapasitas dan mungkin yang ia harapkan mendaftar beasiswa ini sejak awal. “Asna…” Deg! Kok nama saya ikut-ikutan disebut? Apa Pak Kepsek ketinggalan berita ya kalo saya ni paling lemot urusan matematika dan baca kitab kuning?
Setelahnya, Ade dan Aghis mengajak saya berdiskusi, bagaimana kalau mencoba mendaftar beasiswa ini? Toh mencoba tidak akan ada salahnya, urusan berhasil atau tidak urusan nanti deh… Wah, benar juga ya? Apalagi nama saya juga disebut-sebut tadi. Hehe. Akhirnya kami bertiga datang ke kantor menemui Pak Kepsek untuk mendaftarkan diri dengan target pilihan UNAIR. Saat itu bukan Pak Kepsek yang menyambut kami, beliau sedang sibuk dan akhirnya Pak BI (bag kesiswaan) yang menerima kami dengan ramah dan menjelaskan bahwa program studi yang ditawarkan UNAIR hanya Psikologi dan Sastra Inggris, mengingat saat itu adalah tahun pertama UNAIR menjalin kerjasama dengan Depag. Namun karena kamai tidak ada bayangan pada universitas lain ( UGM: LEWAAAT DEEH…, Uin&Iain: alergi bhs. Arab2an, hehe, ITB&IPB: waduh, eksak bo!), maka dengan semangat 45 kami memilih UNAIR. Dalam hati saya, ini kan hanya coba-coba…! Aghis dan Ade memasang Psikologi sebagai pilihan studi mereka, dan mau tak mau saya memilih Sastra Inggris atas anjuran Pak BI. Yah, meski memang saya menyukai Bahasa Inggris dan nilai Bahasa Inggris saya pun cukup bagus, namun tidak pernah terpikir di benak saya sebelumnya akan melanjutkan kuliah di jurusan sastra inggris. Dari dulu saya mengidam-idamkan jurusan Ilmu Komunikasi ( pengen jadi pembaca berita yang keren booo!). Tapi ya sudahlah, sastra Inggris pun sepertinya nggak jelek-jelek amat (baca: konotasi negative).
Akhirnya kami pun resmi terdaftar. Saya segera memberi tau orang tua di rumah untk mendoakan saya agar berhasil dalam misi coba-coba ini. Dan Alhamdulillah, beberapa minggu kemudian ada pengumuman yang menyatakan kami semua lolos administrasi dan berhak mengikuti tes tertulis di tingkat Provinsi. Saat itu, ada 10 orang dari sekolah saya. Saya, Aghis, dan Ade dengan pilihan UNAIR, Nendi dengan pilihan UGM, Fata dan K’ Subi dengan pilihan ITS, Naim, As’adah dan Elva dengan pilihan IPB, dan Isti dengan pilihan Uin Syarif. Hari tes tertulis pun tiba. Kami berangkat dengan semangat membara ke asrama Haji tempat diadakannya tes. Saat tiba disana, sudah ramai oleh peserta ujian dari pesantren lain. Hati saya ketar-ketir mengingat belajar saya semalam yang tak bisa maksimal karena suasana kamar yang memang selalu ramai. Duh… jawab apa aku nanti? Tuhan… bagaimana kalau semua ini hanya akan jadi usaha yang sia-sia. Hey, tak ada usaha yang sia-sia! Setiap usaha pasti membuahkan hasil… hati kecil saya menguatkan.
Tes awal adalah psikotes yang cukup membuat kepala saya pening. Disuguhi soal-soal logika yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan berpikir. Namun Alhamdulillah berhasil saya selesikan. Tes tahap ke dua adalah tes dari universitas masing-masing. Eh, tahu-tahu sang pengawas memberitahukan bahwa khusus untuk UNAIR belum ada tes tahap universitas. Tes tahap universitas akan diadakan setelah penyaringan di tiap provinsi. Gubrak! Berarti mesti tes dua kali dong?!. Enak sekali peserta yang tidak memilih UNAIR, mereka akan langsung dinyatakan lolos/tidak lolos hanya dari tes di provinsi ini. Namun apa mau dikata, saya sudah terlanjur mendaftar dan hanya bisa mematuhi aturan. Akhirnya saya, Aghis, dan Ade pun keluar dan baru masuk ruangan lagi saat tes tahap ke tiga. Tes tahap ketiga ini meliputi tes B. Inggris dan tes kepesantrenan (menerjemahkan teks kitab kuning). Toloooooong… ditambah ada insiden mati lampu segala. Seratus soal bahasa inggris mesti selesai dalam waktu satu jam, dan dengan kemampuan ala kadarnya saya menterjemahkan teks bahasa arab yang diberikan. Kalau tidak salah teks tentang wakalah atau apa gitu saya tidak terlalu faham. Hehe…
Menjelang petang keseluruhan tes tersebut baru usai dan kami pun kembali ke pesantren tercinta. Esoknya, kami menjalani rutinitas seperti biasa. Sekolah dan ngaji seperti biasa, namun sejujurnya… dalam hati saya selalu dikejar-kejar kekhawatiran tentang hasil tes beasiswa itu. Haduh… kira-kira orang macam saya masuk kualifikasi standar nggak ya? Tak henti-hentinya tiap malam saya curhat sama yang di atas. Memohon belas kasih-Nya untuk memberikan saya kesempatan.
Hingga suatu hari, Pak Kepsek memanggil kami ber-sembilan… wah… makin deg-deg-an, pasti hasilnya sudah keluar. Aduh maaaak… saya tak siap! Pak Kepsek tersenyum penuh arti menatap kami yang duduk dengan wajah tegang dan tangan sedingin es. Pertama kali ia menyebut nama Isti, beliau meminta maaf karena Isti tidak termasuk yang tercantum dalam daftar siswa yang lolos seleksi. Beliau berkata hanya ada empat nama yang lolos (Huaaaa… diriku masuk nggak ya?Hiks hiks, pesimis…) Gaya Pak Kepsek sudah benar-benar mirip pembawa acara Indonesian Idol yang mengeliminasi kontestan. Kemudian nama Nendi yang disebut, dalam hati saya yakin kalau Nendi pasti lolos, tapi ternyata Pak Kepsek mengatakan kalau Nendi belum berkesempatan mendapat beasiswa ini. Terus terang saya kaget, kalau Nendi yang jenius saja tidak lolos, bagaimana dengan saya? Optimisme saya makin menipis. Satu persatu nama disebut, dan diketahui bahwa Naim, Elva, dan Fata yang sudah pasti diterima dalam seleksi ini. Hanya tinggal satu nama lagi. Pak Kepsek kembali tersenyum misterius saat akan menyebut nama saya dan Aghis, kami berdua yang belum disebut, berarti satu diantara kami yang masuk dalam daftar penerima. Saya dan Aghis saling bertatapan, tangan kami saling menggenggam dalam kebekuan dan kekhawatiran yang memuncak. Air mata saya hampir tumpah, tak siap membayangkan jika saya harus kecewa. Dan kami berdua berjanji untuk saling menguatkan jika salah satu diantara kami gagal.
Dan Pak Kepsek pun menyebut nama Aghis… bahwa ia… sayangnya tidak masuk dalam daftar. Dan yang itu berarti, sayalah yang masuk dalam daftar peserta yang lolos! Tak terkira luapan perasaan gembira yang saya rasakan saat itu. Benar-benar tidak menyangka… takjub bahwa apa yang saya inginkan bisa benar-benar menjadi kenyataan, Namun di sisi lain saya juga merasa begitu tidak nyaman dengan kenyataan bahwa Aghis tidak lolos, dengan kekalahan teman-teman yang lain juga tentunya. Setelah puas bertangis-tangisan dengan teman-teman yang belum lolos (baca:menghibur dan memotivasi mereka), saya dipanggil Pak Kepsek ke kantor. Beliau memberitahukan saya, bahwa saya belum tentu 100% diterima di UNAIR, karena saya masih harus menjalani satu tahap tes di UNAIR sebelum dinyatakan lolos. Gubrak!!! Ternyata perjuangan belum usai… cerita masih panjang untuk mencapai satu kata:Happy ending.
To be continued…
^_^
Contoh kejadian 1: ( Terjadi di kampus)
Saya : Wah… homesick nih. Pengen pulang kampung. Udah lama nggak pulang ke rumah.
Teman : Kenapa nggak pulang pas weekend?
Saya : Weekend kan cuma dua hari doang! Capek di jalan lah.
Teman : La emang rumahmu mana sih?
Saya : Magelang.
Teman : Magelang? mana tuh? Deketnya Trenggalek ya? (Gubrakkk!)
Saya : (Dalam hati: Deket Trenggalek dari hongkong?), Magelang masa nggak tahu sih? Yang ada Candi Borobudurnya itu loh. Sekitar tiga jam-an dari Jogja. Kalo dari sini sih, sekitar 13 jam perjalanan.
Teman : Wah, jauh banget!
Saya : (tersenyum mode on…)
Teman : Btw, kenapa kamu sampe kuliah jauh-jauh kesini? Kenapa nggak di Jogja aja yang deket?
Saya : …
Contoh kejadian 2: (Terjadi di tepi jalan raya saat saya menunggu travel)
Tukang becak : Nunggu apa mbak?
Saya : Nunggu travel pak.
Tukang Becak : mau kemana mbak?
Saya : Ke Jogja
Tukang Becak ( antusias): Wah, ke Jogja? Ngapain mbak?
Saya : Pulang kampung pak, asal saya dari sana. Tepatnya dari Magelang.
Tukang Becak : Jadi mbak bukan asli Surabaya sini? Disini kuliah?
Saya : iya pak.
Tukang Becak : Kuliah di Unair?
Saya : Iya pak.
Tukang Becak : Wah, berapa sekarang masuk Unair? Mahal pasti…
Saya : (mesam mesem nggak jelas. Dalam hati: ya iyyalah pak…)
Tukang Becak : Wah, pasti orang tua mbak bukan orang sembarangan. Nyekolahin anaknya jauh-jauh ke Surabaya, kalau orang biasa mana bisa?
Saya : senyum2 nggak jelas ( Dalam hati: Nih bapak belon tahu cerita yang sebenarnya)
Dua contoh kejadian di atas cukup menggambarkan keheranan orang-orang ketika mengetahui saya yang berasal dari jauh memilih kuliah di Surabaya. Memangnya sebagus apa sih Unair? Sampai membuat saya rela tak bisa pulang kampung kecuali saat libur karena jauhnya jarak antara Surabaya-Magelang. Padahal toh masih ada UGM yang notabene lebih bergengsi yang bahkan lebih dekat dengan kota asal saya. Hmmm… sebenarnya ada cerita yang cukup panjang yang melatar belakangi keputusan saya untuk kuliah di Unair. Dan saya pikir, setelah dua tahun berada di Surabaya, lucu sekali bila saya tak menuliskan cerita itu disini.
Well, cerita berawal saat saya duduk di bangku kelas tiga Aliyah. Saya bersekolah di Madrasah Aliyah Wahid Hasyim tercinta yang terletak di Jogja. Saat itu, saya dan teman-teman mulai sering memperbincangkan kemana kami hendak meneruskan studi selulus aliyah nanti. Dan nama-nama universitas yang kami sebut-sebut paling hanya berkisar UGM, UNY, atau Uin Suka. Tak pernah sekalipun terlintas di benak saya nama Universitas Airlangga. Paling banter Univ Muhammadiyah Malang, karena kebetulan ada kakak kelas saya yang studi disana.
Hari-hari di tahun terakhir aliyah saya jalani dengan penuh semangat meski tanpa ada gambaran dan target pasti universitas mana yang akan saya tuju ( Nggak niat banget ya saya?). Try- out2 dari sekolah saya lalui dengan nilai yang sebagian besar Alhamdulillah bagus. Hingga sampai lah pada saat dimana ada pengumuman beasiswa S1 dari Departemen Agama. Beasiswa ini memang sudah diadakan sejak tahun sebelumnya khusus untuk lulusan pesantren yang mempunyai prestasi bagus agar bisa melanjutkan kuliah di universitas2 negeri berkualitas seperti UGM, ITB, IPB, ITS, Uin Suka, Uin Syarif, IAIN Walisongo, IAIN Sunan Ampel, dan tentunya… UNAIR. Dua kakak kelas saya berhasil meraihnya (Di Uin Syarif Jakarta dan di UGM). Namun jujur saya tak pernah terpikir untuk mengikuti beasiswa ini. Selain pesimis dari awal karena banyak teman seangkatan saya yang lebih berpeluang, gosipnya sih tesnya sulit minta ampun… ada tes baca kitab kuning segala. Wah, langsung alergi saya! Hehe… Maklum, meski hidup lama di pesantren, saya lemah di ilmu alat (baca: nahwu shorof).
Saat itu saya beranggapan beasiswa itu adalah hal yang terlalu mustahil bagi saya. Sehingga saya lebih memilih ikut UM UGM meski juga dengan sejuta harapan kosong (motivasi iseng-iseng berhadiah bo!). Namun setelah saya berpikir cukup serius, kok rasanya target saya kuliah di UGM juga terlalu tinggi ya? Saat itu saya memasang Psikologi di pilihan pertama dan Ilmu Komunikasi di pilihan kedua, dengan SP3 paling minim yakni Rp 5.000.000,-. Banyak yang bilang persaingannya amatlah ketat, apalagi untuk saya yang lemah di matematika, belum lagi memikirkan uang semesteran nanti jika diterima, masih harus ditambah uang per-sks ( Ck ck ck… mahal betol UGM ni haaa…) ^_^
Saya pun menimbang ulang angan-angan saya kuliah di UGM. Sepertinya kemungkinannya kecil meski saya diterima. Hmmm saya pun jadi terpikir dengan beasiswa Depag tadi. Dan ketika tiba saat pendaftaran beasiswa Depag di sekolah saya, saya jadi agak2 kepengen. Kepsek memutuskan akan menyeleksi nama-nama yang mendaftar untuk diajukan ke Depag Jogja sebelum mengikuti tes tertulis. Wah, masih harus diseleksi ternyata! Nyali saya makin ciut, keinginan untuk mendaftar semakin menipis. Bagaimana tidak, ada begitu banyak teman saya yang jauuuh lebih punya kapasitas mendapatkan beasiswa ini. Saya yang lemah di matematika dan nahwu shorof ini, langsung mengkeret begitu mengingat cerita kakak kelas saya bahwa tes beasiswa ini meliputi tes matematika dasar dan membaca kitab kuning. Gubrak! Wassalam deh…
Namun ternyata, sampai pada batas akhir pendaftaran di tahap sekolah, baru ada satu siswa yang mendaftar. Dia teman sekelas saya yang memang jago di semua mata pelajaran. Namanya Nendi, cowok berjerawat yang gape baca kitab kuning, utak atik rumus mtk, dan b.ingg-pun oke punya. Nyaris tanpa cela. Saya tidak heran ia cukup percaya diri memasang Hukum UGM pada beasiswa itu. Saya ingat, pagi itu Pak Kepsek datang ke kelas khusus untuk mengungkapkan kekecewaannya mengingat hanya ada satu siswa yang berminat mendaftar beasiswa ini. Beliau menasehati kami untuk mempergunakan peluang yang ada sebaik mungkin. Beliau berkata bahwa hanya orang-orang pemberanilah yang akan sukses mendapatkan apa yang ia inginkan.
“ Padahal saya mengharapkan kalian mendaftar beasiswa ini. Dan saya yakin kalian bisa! Apakah kaliah tidak berminat? Bagaimana Aghis… Ade…” Pak Kepsek mulai menyebut nama-nama teman sekelas saya yang cukup mempunyai kapasitas dan mungkin yang ia harapkan mendaftar beasiswa ini sejak awal. “Asna…” Deg! Kok nama saya ikut-ikutan disebut? Apa Pak Kepsek ketinggalan berita ya kalo saya ni paling lemot urusan matematika dan baca kitab kuning?
Setelahnya, Ade dan Aghis mengajak saya berdiskusi, bagaimana kalau mencoba mendaftar beasiswa ini? Toh mencoba tidak akan ada salahnya, urusan berhasil atau tidak urusan nanti deh… Wah, benar juga ya? Apalagi nama saya juga disebut-sebut tadi. Hehe. Akhirnya kami bertiga datang ke kantor menemui Pak Kepsek untuk mendaftarkan diri dengan target pilihan UNAIR. Saat itu bukan Pak Kepsek yang menyambut kami, beliau sedang sibuk dan akhirnya Pak BI (bag kesiswaan) yang menerima kami dengan ramah dan menjelaskan bahwa program studi yang ditawarkan UNAIR hanya Psikologi dan Sastra Inggris, mengingat saat itu adalah tahun pertama UNAIR menjalin kerjasama dengan Depag. Namun karena kamai tidak ada bayangan pada universitas lain ( UGM: LEWAAAT DEEH…, Uin&Iain: alergi bhs. Arab2an, hehe, ITB&IPB: waduh, eksak bo!), maka dengan semangat 45 kami memilih UNAIR. Dalam hati saya, ini kan hanya coba-coba…! Aghis dan Ade memasang Psikologi sebagai pilihan studi mereka, dan mau tak mau saya memilih Sastra Inggris atas anjuran Pak BI. Yah, meski memang saya menyukai Bahasa Inggris dan nilai Bahasa Inggris saya pun cukup bagus, namun tidak pernah terpikir di benak saya sebelumnya akan melanjutkan kuliah di jurusan sastra inggris. Dari dulu saya mengidam-idamkan jurusan Ilmu Komunikasi ( pengen jadi pembaca berita yang keren booo!). Tapi ya sudahlah, sastra Inggris pun sepertinya nggak jelek-jelek amat (baca: konotasi negative).
Akhirnya kami pun resmi terdaftar. Saya segera memberi tau orang tua di rumah untk mendoakan saya agar berhasil dalam misi coba-coba ini. Dan Alhamdulillah, beberapa minggu kemudian ada pengumuman yang menyatakan kami semua lolos administrasi dan berhak mengikuti tes tertulis di tingkat Provinsi. Saat itu, ada 10 orang dari sekolah saya. Saya, Aghis, dan Ade dengan pilihan UNAIR, Nendi dengan pilihan UGM, Fata dan K’ Subi dengan pilihan ITS, Naim, As’adah dan Elva dengan pilihan IPB, dan Isti dengan pilihan Uin Syarif. Hari tes tertulis pun tiba. Kami berangkat dengan semangat membara ke asrama Haji tempat diadakannya tes. Saat tiba disana, sudah ramai oleh peserta ujian dari pesantren lain. Hati saya ketar-ketir mengingat belajar saya semalam yang tak bisa maksimal karena suasana kamar yang memang selalu ramai. Duh… jawab apa aku nanti? Tuhan… bagaimana kalau semua ini hanya akan jadi usaha yang sia-sia. Hey, tak ada usaha yang sia-sia! Setiap usaha pasti membuahkan hasil… hati kecil saya menguatkan.
Tes awal adalah psikotes yang cukup membuat kepala saya pening. Disuguhi soal-soal logika yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan berpikir. Namun Alhamdulillah berhasil saya selesikan. Tes tahap ke dua adalah tes dari universitas masing-masing. Eh, tahu-tahu sang pengawas memberitahukan bahwa khusus untuk UNAIR belum ada tes tahap universitas. Tes tahap universitas akan diadakan setelah penyaringan di tiap provinsi. Gubrak! Berarti mesti tes dua kali dong?!. Enak sekali peserta yang tidak memilih UNAIR, mereka akan langsung dinyatakan lolos/tidak lolos hanya dari tes di provinsi ini. Namun apa mau dikata, saya sudah terlanjur mendaftar dan hanya bisa mematuhi aturan. Akhirnya saya, Aghis, dan Ade pun keluar dan baru masuk ruangan lagi saat tes tahap ke tiga. Tes tahap ketiga ini meliputi tes B. Inggris dan tes kepesantrenan (menerjemahkan teks kitab kuning). Toloooooong… ditambah ada insiden mati lampu segala. Seratus soal bahasa inggris mesti selesai dalam waktu satu jam, dan dengan kemampuan ala kadarnya saya menterjemahkan teks bahasa arab yang diberikan. Kalau tidak salah teks tentang wakalah atau apa gitu saya tidak terlalu faham. Hehe…
Menjelang petang keseluruhan tes tersebut baru usai dan kami pun kembali ke pesantren tercinta. Esoknya, kami menjalani rutinitas seperti biasa. Sekolah dan ngaji seperti biasa, namun sejujurnya… dalam hati saya selalu dikejar-kejar kekhawatiran tentang hasil tes beasiswa itu. Haduh… kira-kira orang macam saya masuk kualifikasi standar nggak ya? Tak henti-hentinya tiap malam saya curhat sama yang di atas. Memohon belas kasih-Nya untuk memberikan saya kesempatan.
Hingga suatu hari, Pak Kepsek memanggil kami ber-sembilan… wah… makin deg-deg-an, pasti hasilnya sudah keluar. Aduh maaaak… saya tak siap! Pak Kepsek tersenyum penuh arti menatap kami yang duduk dengan wajah tegang dan tangan sedingin es. Pertama kali ia menyebut nama Isti, beliau meminta maaf karena Isti tidak termasuk yang tercantum dalam daftar siswa yang lolos seleksi. Beliau berkata hanya ada empat nama yang lolos (Huaaaa… diriku masuk nggak ya?Hiks hiks, pesimis…) Gaya Pak Kepsek sudah benar-benar mirip pembawa acara Indonesian Idol yang mengeliminasi kontestan. Kemudian nama Nendi yang disebut, dalam hati saya yakin kalau Nendi pasti lolos, tapi ternyata Pak Kepsek mengatakan kalau Nendi belum berkesempatan mendapat beasiswa ini. Terus terang saya kaget, kalau Nendi yang jenius saja tidak lolos, bagaimana dengan saya? Optimisme saya makin menipis. Satu persatu nama disebut, dan diketahui bahwa Naim, Elva, dan Fata yang sudah pasti diterima dalam seleksi ini. Hanya tinggal satu nama lagi. Pak Kepsek kembali tersenyum misterius saat akan menyebut nama saya dan Aghis, kami berdua yang belum disebut, berarti satu diantara kami yang masuk dalam daftar penerima. Saya dan Aghis saling bertatapan, tangan kami saling menggenggam dalam kebekuan dan kekhawatiran yang memuncak. Air mata saya hampir tumpah, tak siap membayangkan jika saya harus kecewa. Dan kami berdua berjanji untuk saling menguatkan jika salah satu diantara kami gagal.
Dan Pak Kepsek pun menyebut nama Aghis… bahwa ia… sayangnya tidak masuk dalam daftar. Dan yang itu berarti, sayalah yang masuk dalam daftar peserta yang lolos! Tak terkira luapan perasaan gembira yang saya rasakan saat itu. Benar-benar tidak menyangka… takjub bahwa apa yang saya inginkan bisa benar-benar menjadi kenyataan, Namun di sisi lain saya juga merasa begitu tidak nyaman dengan kenyataan bahwa Aghis tidak lolos, dengan kekalahan teman-teman yang lain juga tentunya. Setelah puas bertangis-tangisan dengan teman-teman yang belum lolos (baca:menghibur dan memotivasi mereka), saya dipanggil Pak Kepsek ke kantor. Beliau memberitahukan saya, bahwa saya belum tentu 100% diterima di UNAIR, karena saya masih harus menjalani satu tahap tes di UNAIR sebelum dinyatakan lolos. Gubrak!!! Ternyata perjuangan belum usai… cerita masih panjang untuk mencapai satu kata:Happy ending.
To be continued…
^_^
No comments:
Post a Comment