Monday, April 18, 2011
Tuesday, April 5, 2011
Sunday, April 3, 2011
Jatuh Cinta dan Pacaran
“Tunggu, sudah punya pacar kan?”
Pertanyaan membosankan. Dan kalau boleh jujur, bikin gerah. Hmm, setiap bertemu teman lama (baca: teman SMP dan SMA), pertanyaan itu pasti tidak pernah absen, selalu muncul dalam obrolan kami. Paling saya cuma bisa senyum. Dan akhirnya obrolan akan berakhir dengan membicarakan si A yang tiba-tiba punya pacar super keren atau si B yang ternyata sudah punya baby. Saya sih masih bisa stay cool kalau teman-teman saya yang meributkan masalah ‘pacaran’ ini. Saya maklum, di negara mana pun pastilah kehidupan anak muda itu tak pernah jauh-jauh dari cinta-cintaan atau yang kita sebut ‘pacaran’ itu. Tapi lain lagi ceritanya kalau orang tua yang mulai mengusik perihal ‘pacaran’ ini. Kalau sudah ada kerabat atau teman Ibu saya mengendus-endus dua pertanyaan pamungkas tadi, saya benar-benar jadi speecless. ^^
Kenapa harus pacaran? Saya sering bertanya-tanya. Mungkin bagi orang lain akan terdengar aneh dan sama sekali tak penting. Tapi bagi saya, kadang hal ini (baca: budaya pacaran) jadi begitu menyebalkan. Apakah karena hampir setiap orang punya pacar, lantas kita juga harus pacaran? Oke, saya tahu jawaban kalian: tentu saja tidak harus! Terserah kitanya. Simple! gitu aja kok repot?. Well, sejujurnya tidak segampang itu lho. Karena tanpa disadari, banyak sekali dari kita yang terperangkap dalam ideologi ‘harus pacaran’ ini. Coba saja, siapa diantara kalian yang galau karena tak kunjung mendapatkan tambatan hati? Siapa yang iri melihat si ‘ini’ selalu terlihat asyik berdua bersama si ‘itu’. Ooooh so sweet! Aku kapan? Payah nih! Masa sudah semester delapan masih gini-gini aja? (Eit, sungguh ini bukan curhat lho!). Tapi jujur deh, banyak pasti yang merasa begitu. Saya sering kok mendengar keluhan-keluhan bernada sama dari teman-teman di sekitar saya.
Kadang saya geli sendiri kalau ada teman yang galau setengah mati dengan kesendiriannya. Katanya sih... gimana nggak galau? Bentar lagi kita lulus kuliah, apa kata dunia kalau kita belum punya gandengan? Olala! Rupanya inilah masalahnya! Kebanyakan dari kita terlalu fokus dengan ‘apa kata dunia’. Kita jadi merasa dituntut untuk memenuhi standar-standar ‘apa kata dunia’ untuk bisa dikategorikan orang normal. Okeeee, dengan tidak berpacaran bukan berarti kita langsung di-judge sebagai orang abnormal. Tapi itu tadi... ‘apa kata duniaaaaa?’ ^_^
Kadang saya geli sendiri kalau ada teman yang galau setengah mati dengan kesendiriannya. Katanya sih... gimana nggak galau? Bentar lagi kita lulus kuliah, apa kata dunia kalau kita belum punya gandengan? Olala! Rupanya inilah masalahnya! Kebanyakan dari kita terlalu fokus dengan ‘apa kata dunia’. Kita jadi merasa dituntut untuk memenuhi standar-standar ‘apa kata dunia’ untuk bisa dikategorikan orang normal. Okeeee, dengan tidak berpacaran bukan berarti kita langsung di-judge sebagai orang abnormal. Tapi itu tadi... ‘apa kata duniaaaaa?’ ^_^
Bukan karena anggapan orang lain kok! Aku hanya ingin ada seseorang yang bisa memperhatikan dan berbagi kebahagiaan bersamaku. Ceileeee... mungkin itu juga alasan kalian. Oke, Fine! Tapi saya tetap tak habis pikir, akankah dunia kiamat hanya karena kita tidak punya pacar? Well, sebenarnya bukan ‘pacaran’ yang kita butuhkan dalam hidup ini. Tapi cinta. Dua hal itu jelas berbeda bagi saya. Belum tentu ada cinta dalam sebuah hubungan ‘pacaran’. Dan cinta, tidak harus diekspresikan dengan ‘pacaran’ (in my opinion lho!) ^^
Kadang saya sepet kalau lihat ada sejoli pacaran dan menganggap mereka adalah pasangan paling bahagia sedunia yang sedang dimabuk cinta. Mereka bangga dan bahagia sekali, padahal yang mereka lakukan itu bukan lain hanya rutinitas budaya orang pacaran pada umumnya. Tak ada yang spesial dan membedakan mereka dari jutaan pasangan di dunia ini. Apalagi kalau tahu mereka itu sebenarnya tidak benar-benar cinta, cuma pengen asyik-asyikan dan dianggap keren aja! Beuh...
Oh oke, tampaknya sekarang saya sudah benar-benar ngelantur. Mungkin kalian akan melempari muka saya dengan sepatu kalau saya melanjutkan pendapat sarkartis saya. Hohoho. Tapi sungguh, kadang saya penasaran... ketika kita jatuh cinta, haruskah kita mengekspresikan rasa itu dengan berpacaran? Saya pernah dekat dengan seseorang (Wuaah, buka aib #siap-siap ngumpet balik selimut!). Waktu itu saya bilang, kenapa harus pacaran? Toh kita sama-sama tahu bagaimana hati dan perasaan masing-masing. Dan yang terpenting, kenapa hubungan yang belum tentu berlanjut ke pernikahan itu harus dilabeli. Jujur saya tidak suka terikat dan agak risih kalau harus mendapat predikat ‘pacaranya si anu’ apalagi ‘ceweknya si itu’. Aduuuh, jadi berasa kita ini properti!
Tapi kata ‘dia’ (anggap saja siwon, kyuhyun, atau donghae...kekeke #ditimpuk fans suju), menjadi terlalu sadis kalau berhubungan tanpa status. Batin saya, haduh... memangnya Tuhan mengenal dan menerima status ‘pacaran’ ya? Hihihi. Bagi saya, akan terasa lebih sadis lagi jika kita (baik laki-laki atau perempuan), melegalkan status pacaran itu untuk berbuat hal-hal yang diluar moral dan aturan agama. Kalau sudah begitu, cinta yang tadinya pure dan agung itu justru akan tercemari oleh hal-hal negative itu. Terus terang, saya tidak bisa membayangkan jika pasangan hidup saya kelak adalah orang yang telah berkali-kali menjalin hubungan (baca pacaran) sebelum dia bertemu saya. Bukannya saya kolot atau apa, tapi bagi saya... ketika kita jatuh cinta pada seseorang, saat itu adalah momen yang agung yang semestinya kita hargai dan kita jaga. Jangan sampai berubah jadi rutinitas bodoh yang hanya akan membuat diri kita tidak berharga. Apalagi ketika kita tidak cinta atau hanya suka sebatas fisik dan materi saja, sayang sekali kalau kita terburu-buru mendeklarasikan diri menjadi pasangan pacaran yang berbahagia. ^^
Kembali ke topik awal, belakangan ini ada beberapa kerabat dan sahabat ibu saya yang getol menanyai saya “Udah punya pacar belum?”. Naga-naganya saya mencium sesuatu nih. Apakah kiamat memang sudah dekat? Kenapa para orang tua ini juga jadi gatel dan ikut galau kalau ada anak gadis yang belum punya pacar? Saya tegaskan, bukannya saya tidak punya pacar, tapi saya memilih untuk tidak pacaran! (Apa-apan ini? Can’t believe this! Saya menulis hal seperti ini di Blog!). Mungkin terdengar klise dan omong kosong. Bilang aje situ nggak laku! (Mungkin ini yang ada di benak kalian) ^^. Tapi sejauh ini saya bisa membuktikan komitmen saya ini. Bukannya saya menentang kalian yang berpacaran (silahkan saja, hak masing-masing kok). Tapi bagi saya, hanya ketika kita benar-benar jatuh cinta lah kita patut dan berhak menjalin sebuah hubungan dengan seseorang, itu pun dalam ikatan yang dilegalkan oleh agama. Dengan begitu, cinta itu akan terbebas dari segala hal-hal negative yang hanya akan merusaknya.
Dulu sekali, saya pernah dengar seorang lelaki berkata dengan bijaknya “Saya menerima kalau orang-orang di sekitar saya menganggap saya aneh hanya karena saya tidak pacaran”. Omo! Bagi saya itu sangat cool dan berkarakter. Saya sampai terpesona begitu mendengarnya (lope-kope ^^). Tapi sedih sekali, karena ujung-ujungnya orang itu kemakan omongannya sendiri. Pacaran juga ternyata, sodara-sodara ladies and gentleman! Hah, payah! Hehe, kok lagi-lagi jadi curhat begini ya? ^_^
Memang di era seperti sekarang, ketika orang berpikir bahwa mereka mempunyai kebebasan untuk melakukan sesuatu, sesungguhnya mereka masih terperangkap dalam aturan-aturan yang berlaku. Konyolnya seringkali aturan itu bukan lain hanya sebatas budaya ikut-ikutan. Jaman sekarang, kalau ada orang yang tidak pacaran, hanya ada dua kemungkinan: satu, mukanya terlalu jelek sehingga tidak laku, atau dua, dia benar-benar menjaga prinsip untuk mempersiapkan dirinya hanya untuk pasangan hidupnya kelak. Dan sah-sah saja kan kalau saya ingin sekali bisa menjaga komitmen saya untuk menjadi yang kedua itu. ^^
Jadi, dari tadi ngoceh intinya kamu sudah punya pacar atau belum?
Jangan sekali-kali tanyakan hal itu pada saya... ^_^ kalau kata Pak Mario sih, nggak usah khawatir kalau kita ini masih sendiri. Nggk usah galau juga kita bakal dapet pasangan hidup kayak apa? Yang terpenting adalah, jadikanlah diri kita ini pribadi yang pantas dan berharga untuk bertemu dengan seseorang yang hebat dan penyayang.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk teman-teman saya yang merasa galau, terutama Kassande 07 ^_^
Tuesday, March 29, 2011
Saturday, March 26, 2011
Thursday, March 24, 2011
Tuesday, March 22, 2011
Onthel Nyerbu DPR
ONTHEL NYERBU DPR |
Ontel Goes To Wakil Rakyat Jakarta - virus bersepeda kini telah mewabah dimana-mana, mulai dari pelosok kampung sampai ke jantung pusat ibukota. Hari Kamis 6 Mei 2010 kemarin, saat matahari mulai beranjak naik di kota Jakarta, saat aktivitas denyut nadi kesibukan jakarta mulai terasa, saat jalan2 ibukota mulai dipenuhi sesaknya kendaraan bermesin. kawan-kawan B2W Indonesia, KOBA, dan beberapa perwakilan sepeda di jakarta berkumpul di kantor Menteri Pemuda dan Olahraga dengan agenda "Bersepeda bersama anggota DPD & DPR" ratusan penyepedah sudah menyemut di halaman kantor menpora menunggu kedatangan menterinya Bpk. Andi Malarangeng yang juga turut mengawal menuju senayan. KOBA menurunkan hampir separuh dari jumlah peserta, tentunya dengan dandanan sederhana ala betawi. Acara yang dimulai start jam 08.00 dari Menpora menuju senayan dengan melewati jalur protokol Jl. Gatot Subroto dan memutar kearah palmerah untuk kemudian masuk langsung ke Gedung Wakil Rakyat MPR-DPR. inilah pertama kali dalam benak para peserta saat itu bersepeda di kawasan yang selalu bertembok tinggi nan kokoh dan berjeruji kawat baja, maklum antisipasi demontrasi yang selalu ada di Jakarta. Rombongan penyepedah diterima oleh Ketua DPD Irman Gusman dan AM Fatwa, yang kemudian ternyata ini merupakan program DPD bekerja sama dengan Latofi dalam launching Indonesia Green Awards 2010. dan pagi itu para peserta diajak keliling halaman gedung DPR yang ternyata sangat luas, hijau, penuh pohon rindang, suasana yang sejuk, dibeberapa sudut fasilitas berupa Lap. Voli, basket, futsal, bulu tangkis, ruang fitness tertata sangat rapih di bawah rimbunnya pohon-pohon, disudut yang lain terlihat anggota kepolisian yang bertugas jaga sedang santai-santai pagi, sudut yang lain ada apel pagi bagi keamanan gedung, padahal jam sudah menunjukkan pkl. 09.00 pagi, ternyata suasana masih lenggang. kemudian jamuan makan pagi dengan menu bubur ayam dan bubur kacang hijau tersaji sangat bersahabat, sambil menikmati makan pagi para peserta berbaur dengan beberapa anggota DPD dan juga para staff khususnya. semakin siang ternyata para peserta diajak untuk mengunjungi ruang Nusantara IV dan mengikuti diskusi tentang "Indonesia Green Awards 2010" bersama moderator anggota DPR dedi "miing" gumelar dan pembicara Om Toto ketua B2W indonesia, Bupati Wakatobi, Staff Ahli Gubernur Kaltim, Direkur Utama Aqua & staff khusus kepresidenan bidang lingkungan, inti dari diskusi gak tau. maklum banyak yang tidur dan terkesan membosankan, ditambah ruangan Nusantara IV atau sering disebut Gedung Hijau karna karpetnya hijau dan sering difungsikan sebagai tempat sertijab/pelantikan anggota Fraksi. ruangan ini sangat Adem full sejuuk. Terakhir... Makan siang bersama dengan menu standar Pejabat Wakil Rakyat dan maaf kami sensor untuk menunya.. karna terlalu Maknyuuss... Salam Sepeda Fahmi Sekjen | ||
Mas Paidi naik sepeda
Mas Paidi..bersepeda dengan satu kaki |
Walau hanya dengan satu kakinya Mas Paidi tetap bersepeda untuk beraktivitas. Potret kehidupan pria bernama Paidi suprapto kelahiran desa Karang Agung Surabaya ini mencuri pandangan saya saat jalan-jalan seputaran kota Padang. Pemandangan yang sepintas biasa namun ada yang janggal terlihat, bapak satu anak ini begitu cekatan mengendarai sepeda dengan segala keterbatasannya, saya sengaja berada di posisi belakangnya dan memperlambat laju kendaraan dengan tongkat disandang di tangan kanan begitu santai dan stabil dia mengayuh sepeda type sport ini. Sampai akhirnya dia berhenti di sebuah kedai kaki lima di pinggir jembatan banjir kanal pusat kota padang ini, secara spontan pun saya ikut berhenti di kedai di atas becak barang itu, tak lama setelah sepeda di parkirkan barulah saya yakinkan bahwa dia seorang pria yang memiliki 1 kaki. tanpa dikomando saya lansung memperkenalkan diri dan dengan ramah mas paidi membalas jabatanan tangan saya. Pembicaraan ringan sore itu membawa dia menerawang masa lalu, kejadian 14 tahun silam disaat ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas 2, dengan aksen jawa trans yang becampur bahasa padang sangat jelas kentara, dia mengalami kecelakaan tuturnya yang membuat kaki sebelah kanannya cacat, kejadian itu awalnya hanya menyisakan luka pada lutut yang cukup parah, luka yang sempat dia obati ke Rumah Sakit mengalami pembusukan, karena di saat yang berbarengan tak berselang lama Ibu tercinta meninggal dunia. Kaki yang membutuhkan perawatan yang berkala ini menjadi tidak terawat lagi, luka yang diderita menjadi semakin parah dan tiada jalan lain haruslah di amputasi, mulai saat itulah dia beraktifitas dengan 1 kaki. Paidi muda memberanikan diri merantau ke kota Padang, awal mula di kota Bingkuang ini Paidi di ajak bekerja di bengkel sepeda miliki temannya, mulai dari membantu-bantu sampai ia mengerti sedikit bagaimana memperbaiki sepeda, tak mungkin rasanya terus di bengkel dan merasa mampu untuk mencoba pekerjaan baru dia mencoba melamar untuk bekerja di salah satu rumah makan Padang sebagai tenaga dapur, apapun dia lakukan asal bisa untuk makan dan melanjutkan hidup. Disanalah awal mulanya Paidi menemukan jodoh wanita asal Pariaman ini dan telah memberinya seorang anak laki-laki berumur 8 bulan, tadinya anak saya yang pertama perempuan tuturnya tetapi meninggal dunia waktu masih 1 tahunan. Semenjak Gempa yang melanda Padang 30 september 2009 kemaren dia tidak memiliki pekerjaan lagi dikarnakan Rumah makan tempat dia mencari nafkah runtuh karena gempa, berkat kegigihannya ia kembali melanjutkan hidup menjadi tenaga kebersihan di salah satu sekolah negeri dan membuka kedai rokok dan minuman yang di kelola istri tercinta tepatnya di tepi banjir kanal kawasan GOR H Agussalim ini. Satu prinsip hidup yang beliau berikan yang menjadi pelajaran berharga bagi penulis dimana ‘Selagi kita bisa berusaha dan bekerja kenapa harus menjadi peminta-minta” tetap semangat Mas uda Paidi.. sumber : Sepeda Unto Padang |
Apa Salahnya Jadi Mahasiswa Sastra?
Di depan fakultas tercinta ^_^ |
Pertanyaan itu seringkali muncul di benak saya. Eh, tunggu dulu deh... memangnya ada yang salah ya sampai-sampai pertanyaan itu muncul dan cukup menghantui perasaan saya? Hmm, ada banyak alasan tentunya. Pertama, kalau kalian bertemu seseorang, lalu tau kalau orang itu kuliah di jurusan sastra, apa yang muncul di benak kalian untuk pertama kalinya?
· “Wow! Cool ! Pasti nih orang luas banget pengetahuannya! Ck ck ck...”
· “Wuah! Keren deh... aku juga pingin ambil jurusan sastra ah kalo kuliah nanti!”
· “Hmmm, sastra ya? Pantesan orangnya nyante gitu. Kuliahnya gampang sih! Ga pernah masuk juga bisa lulus kok!”
· “Oooooh, sastra ya? Kirain apa... aduh, nggak usah belagak gaya deh...”
· “Aduuuh, sastra? Apa sih menariknya belajar bahasa gitu? Point-nya apa gitu looooh?”
Hmmm, jujur deh... jawaban mana yang mewakili perasaan kalian? Saya berani bertaruh pasti tiga jawaban terakhir adalah yang mendominasi benak orang-orang pada umumnya dalam memandang mahasiswa jurusan sastra. Ya walau mungkin nggak seektrim itu, tapi minimal general opinion-nya sama. Ngaku deh!
Saya tidak akan menyalahkan orang yang masih berpandangan (sempit) bahwa jurusan sastra adalah bidang ilmu yang tidak bergengsi, tidak aplikatif, tidak berguna, terlalu remeh dan mudah, and so on. Sebagai mahasiswa jurusan sastra (baca: open minded) saya maklum adanya kalau kebanyakan orang di sekitar saya masih berpandangan seperti itu. Saya mengerti, dengan latar budaya dan ekonomi seperti di Indonesia, wajar kalau orang masih belum bisa menghargai apa itu sastra. Taraf hidup dan kesejahteraan orang Indonesia yang masih berada di level menengah ke bawah membuat mereka lebih menghargai bidang ilmu yang terlihat lebih aplikatif dan yang manfaatnya bisa dirasakan nyata untuk semua kalangan, seperti ilmu kedokteran misalnya.
Tapi kadang saya benar-benar tak habis pikir ketika masih banyak teman mahasiswa yang seharusnya berpikiran luas dan jauh ke depan, tapi masih menunjukkan sikap yang konservatif. Mungkin dulu saya juga termasuk orang-orang berpandangan sempit itu. Ketika awal masuk kuliah dulu, saya memilih jurusan Sastra juga karena terpaksa (akhirnya terbongkar juga kedok saya ^^). Karena saya mengikuti tes masuk PT melalui jalur beasiswa depag, saya hanya bisa memilih antara jurusan sastra dan psikologi. Karena sudah banyak teman yang memilih psikologi, saya melihat peluang sastra lebih aman. Meski agak ragu, akhirnya saya memilih sastra setelah diyakinkan oleh guru saya. Dan Alhamdulillah, prediksi saya tepat. Saya akhirnya lolos mendapatkan beasiswa Depag untuk kuliah di jurusan sastra (baca: sastra inggris).
Belum masuk ke dunia perkuliahan, saya sudah menemui beberapa rintangan yang tidak mengenakkan. Salah satunya ketika salah seorang kerabat saya mengetahui kalau saya diterima di jurusan sastra inggris, dia justru berkomentar “Kenapa nggak coba lewat SPMB aja lagi? biar bisa masuk ekonomi. Atau paling nggak fisip lah. Lebih mending...”. Aduuuh, sumpah! Hati saya mencelos mendengar perkataan bernada enteng itu. Saya tahu, mungkin bukan maksud dia menyakiti hati saya. Namun jujur, kata-kata seperti itu keluar dari mulut seseorang yang berpendidikan agak kurang masuk akal menurut saya.
Dan semua itu berlanjut hingga kini, ketika saya sudah berada di penghujung tahun perkuliahan. Sempat beberapa kali mendengar selintingan tak mengenakkan bagaimana orang lain (baca: mahasiswa jurusan lain) menganggap tugas kami (mahasiswa sastra) itu jauh lebih mudah dan enteng dibanding mahasiswa jurusan lain. Tugasnya lebih sedikit dan ringan, lebih banyak waktu luang, tak perlu repot-repot praktikum atau penelitian lapangan, cukup baca buku doang bisa dapat IPK cumlaude. Enak bener ya kuliah sastra? Mungkin begitu pikir mereka. Atau mungkin ada juga yang berpikir, aduh... boring banget kayaknya jadi mahasiswa sastra! -_-“
Pernah suatu kali saat saya mengikuti sesi wawancara student exchange, saya berkenalan dengan seorang mahasiswa jurusan psikologi. Setelah berkenalan basa-basi, dia bertanya jurusan apa yang saya ambil. Ketika saya menjawab “sastra inggris”, dengan muka innocent-nya dia bertanya lagi, “Apa menariknya sih kuliah sastra inggris? Cuma belajar grammar gitu doang kan? Apa point-nya?”. Mungkin kalau pertanyaan itu datang dari orang awam yang tidak pernah merasakan bangku kuliah, saya bisa memaklumi. Tapi kali ini seorang mahasiswa yang mengucapkannya, jurusan psikologi pula! Saat itu saya tidak menjawab apa-apa kecuali tersenyum getir, yang ada di kepala saya hanya “Saya juga ngga ngerti kamu kuliah di psikologi, kalau cara berbicara yang sopan dan menghargai hati orang lain saja kamu sama sekali nggak becus!”
Well, sebenarnya masih banyak kejadian-kejadian menohok hati yang saya alami, di kampus, di jalan, di bus, bahkan pernah saat saya berada di travel saya ditakdirkan menghadapi ibu-ibu yang super duper konservatif. Ibu itu menanyai saya mengambil jurusan apa (seperti biasa), ketika saya mengaku ambil jurusan sastra, tanpa saya minta dan dengan bangganya ibu itu menceritakan dengan detail bagaimana hebatnya anaknya yang berhasil lolos kedokteran Unair. “jaman sekarang ya mbak, emang kalau nggak benar-benar yang pinter, susah masuk kedokteran. Tapi ya memang kedokteran itu yang paling banyak diminati, soalnya paling bergengsi dan menjanjikan” begitu ceramah ibu itu. Saat itu seperti biasa saya hanya bisa tersenyum (dalam hati ingin memaki).
Yang paling tidak bisa saya tolerir (meski tetap tidak bisa berbuat apa-apa ^^) adalah ketika ada orang yang menganggap skripsi anak sastra itu remeh dan jauh lebih mudah dibandingkan skripsi jurusan lain. Yang tidak bisa saya terima, saya sebagai mahasiswa satsra tidak pernah meng-under estimate jurusan lain apalagi menganggap pekerjaan menyelesaikan skripsi adalah persoalan yang mudah. Bagi saya, karena saya tidak tahu banyak seluk beluk ilmu yang mereka ambil, tidak fair bagi saya untuk memberikan judgement semacam itu. Tapi rupanya, banyak yang tidak sependapat dengan saya. Just for your information, saat ini saya tengah menggarap skripsi dengan objek film My Name is Khan. Bagi yang tidak pernah tahu ilmu literatur, mungkin akan menganggap aneh dan sangat kurang kerjaan. Yang benar saja, skripsi kok bahas film india! Bahkan ada seseorang yang berkomentar, “Hah? Film dijadiin skripsi? Bukannya film tu buat tontonan dan hiburan doang ya? Trus diapain tuh film india?”
Hahaha, karena intensitas mengalami celotehan orang yang merendahkan bidang ilmu saya, lama-lama saya jadi kebal dan justru ingin tertawa kalau menghadapi orang-orang seperti itu. Ya, mengapa harus marah? Karena sebenarnya mereka-mereka ini hanya belum mengerti saja, pikirannya belum terbuka, sebetulnya ka;au boleh jujur... mereka justru berada jauh di bawah saya karena ternyata belum bisa menghargai dan mengerti manfaat dari satu bidang ilmu.
Asal tahu saja, menganalisis sebuah film itu bukan perkara gampang lho. Meski memang benar, saya tak perlu capek-capek penelitian lapangan, namun sungguh (Demi Allah!) semuanya juga butuh perjuangan dan tenaga ekstra. Bukan hanya aspek naratifnya saja, tapi saya juga harus membedah aspek non-narrative-nya juga. Saya tidak cukup memahami theory stereotype untuk bisa menganalisis film ini, tapi juga butuh pemahaman bagaimana cinematography sebuah film memberikan arti tertentu. Dan menurut saya, hal itu tidak mudah. Dan yang terpenting, mengingat saya jurusan sastra inggris maka skripsi dan sidang saya kelak haruslah menggunakan bahasa inggris yang baik dan benar. Bagi orang yang berkapasitas pas-pasan seperti saya, tentu saja itu tidak mudah. Kami tidak hanya harus memastikan analisis dan theory yang kami pakai itu capable, tapi juga gramatical penulisan kami haruslah sudah benar. Jadi apakah adil, dengan fakta seperti itu masih ada orang yang meremehkan jurusan sastra?
Kadang saya juga tidak luput dari pesimisme akan prospek ke depan jurusan sastra. Mau jadi apa kalau lulus nanti? Well, kalau kita kuliah masih dibayang-bayangi pertanyaan seperti itu, maka kita hanya akan diam di tempat dan menjadi orang yang terkungkung dengan opini publik. Memang benar, untuk bisa benar-benar mengapliaksikan ilmu saya (saya mengambil konsentrasi literatur), seyogyanya saya melanjutkan ke jenjang S2. Namun menurut saya, kalau pun toh nantinya saya tidak mendapatkan kesempatan untuk lanjut S2, ada banyak hal bisa saya aplikasikan dari ilmu ayng telah saya pelajari ini.
Halah! Paling mentok-mentoknya juga jadi guru bahasa inggris! Gitu aja kok repot! Nggak usah muluk-muluk deh...
Mungkin akan banyak yang mencibir seperti itu. Kalau memang itu benar, apa salahnya menjadi seorang guru? Meski sebenarnya kuliah di sastra sama sekali bukan diarahkan untuk menjadi guru (bedakan jurusan sastra inggris dan pendidikan bahasa inggris ^^), namun apa ada yang salah dengan menjadi seorang penyalur ilmu (baca: guru)? Tanpa keberadaan guru SD bahkan guru TK, kalian yang kini kuliah di jurusan bergengsi seperti kedokteran dan semacamnya itu, tentu tak akan pernah bisa sampai ke bangku kuliah tak peduli sejenius apapun otak kalian. (balas dendam ceritanya?^^)
Asal kalian tahu, saya mendapatkan buanyaaaak hal dari kuliah di jurusan sastra. Mungkin kalian mengira kami hanya belajar bahasa, grammar, dan semacamnya itu. Tenang, saya maklum kok. Hehe. Tapi kalau saja kalian mau membuka pikiran sedikiiit saja, posisi ilmu sastra itu sesungguhnya berada di paling atas, sastra adalah payung dari bidang ilmu lain, seperti kedokteran, psikologi, matematika, biologi, dan lain sebagainya. Sederhananya, kalau kalian tidak mengerti apa itu bahasa, mana mungkin kalian bisa mengerti ilmu-ilmu lain yang kesemuanya tidak akan bisa ditransfer tanpa keberadaan bahasa?
Dan yang lebih penting lagi, di jurusan sastra, kami mempelajari banyak sekali hal-hal yang mungkin tidak pernah dianggap penting di jurusan lain namun sebenarnya teramat penting (hehe mbulet.com). Di jurusan sastra, saya belajar Reading text, saya jadi tahu bagaimana ideologi selalu bersembunyi dalam sebuah teks (teks disini bisa berarti tulisan, film, iklan, maupun fenomena sosial). Sebagai seorang wanita saya juga merasa beruntung karena jadi tahu sedikit banyak tentang feminisme dan bagaimana seharusnya saya bersikap di tengah budaya patriarki. Kami juga diajari apa itu semiotic, studi tentang simbol yang membuat kami lebih faham dan aware pada setiap makna yang terkadung dalam setiap hal yang kita temui sehari-hari. Tentu masih banyak lagi hal-hal menarik yang membuat saya menjadi makin jatuh cinta pada ilmu sastra, yang tidak mungkin saya pamerkan satu-satu disini. ^^
Saya merasa ilmu sastra mampu mencerdaskan manusia, memberi arti lebih dalam hidup seseorang. Membuat kita tidak hanya berpikir soal materi dan kesuksesan berkarir. Lebih dari itu, sastra membantu saya memahami hal-hal secara lebih mendalam yang tidak ditawarkan oleh bidang ilmu lain (eit, bukan berarti saya meremehkan ilmu lain looo ^^)
Tanpa ilmu sastra, tidak akan bisa sebuah negara berdiri dengan kokoh. Lihat saja, tanpa kritikan dan masukan dari para sastrawan dan pengamat budaya, apa jadinya Indonesia yang sudah bobrok ini? Haha, kalau kalian masih ragu dengan kehebatan dan betapa dibutuhkannya orang-orang sastra, silahkan datangi saya. Hoho. Saya bisa menunjukkan orang-orang hebat itu, yang tentu saja saya belum termasuk di dalamnya (hoho... semoga suatu saat bisa jadi orang hebat juga, kekeke...). Hal yang menyedihkan bagi saya adalah ketika masih ada mahasiswa sastra yang belum bisa bersikap sebagaimana seharusnya.
Sejauh ini, jika masih ada yang memandang rendah jurusan sastra, saya berusaha kalem dan tidak terbawa emosi, plus mengingat kata-kata dari salah seorang dosen saya, “Jangan salah, kalau di negara maju, bukan mahasiswa kedokteran yang disanjung-sanjung, tapi justru orang yang menguasai ilmu literatur”. So... setelah membaca tulisan ini, masih adakah diantara kalian yang menganggap ilmu sastra itu cenderung remeh dan tidak ada gunanya? ^^
Sejarah Sepeda 2
ASAL USUL SEPEDA
24012010Manusia mengenal alat transportasi modern bermula dengan diketemukannya roda, sebelumnya manusia menngunakan binatang sebagai kendaraannya seperti kuda, gajah, sapi, unta dan lain sebagainya. Dengan digunaknnya roda dalam menciptakan alat transportasi, hal in merupakan lompatan yang cukup jauh walaupun pada awalnya bentuk roda cukup sederhana hanya berupa lempengan kayu seperti roda gerobak, kemudian dibuat roda yang berjeruji, kemudian dibuatlah roda kereta kuda, baru kemudian sepeda. Di Eropa setelah adanya revolusi industri maka kemajuan teknologi berkembang cukup pesat.
Dengan diproduksinya mesin dan minyak untuk membangkitkan motor maka bermunculanlah alat transportasi seperti mobil, sepeda motor, kapal api, kereta api, kapal terbang dan sebagainya.
Tahun 1971 sepeda kayu sudah mulai dibuat di Perancis, namun baru tahun 1817 Baron Von Drais de Sauerbun membuat sepeda kayu tanpa pedal yang pertama, sepeda ini disebut “Hoby Horse” (sepeda kuda – kudaan) dan dalam waktu yang singkat sudah popularJerman, Perancis, Inggris, dan Amerika. Tahun 1839 sepeda memakai pedal pengayuh pertama kali digunakan, bentuk sepeda yang dibuat saat itu kelihatan sangat janggal, karena rodanya terlalu besar dan belakangnya dibuat roda kecil untuk membantu keseimbangannya, dan cara memakainya sangat dibutuhkan keterampilan seorang akrobatik untuk mengendarainya. Dua dasawarsa kemudian bentuk sepeda sudah mulai tampak enak untuk dikendarai. Setelah itu bermunculan berbagai merk dan bentuk sepeda dari negara – negara Eropa, Amerika yang disusul oleh negara Asia seperti Cina dan Jepang yang tidak mau ketinggalan dalam memproduksi dan memasarkan sepeda mereka secara besar – besaran.
Sebenarnya sepeda masuk sebagai alat transportasi di INdonesia belumlah terlalu lama, yaitu sekitar awal abad ke-20 yaitu sekitar tahun 1910-an. Waktu pertama masuk tentu saja dipakai oleh pegawai kolonial dan para bangsawan, baru kemudian para misionaris dan saudagar kaya bisa memilikinya.
Sepeda, pertama kali dibuat bentuknya sangat berbeda dengan sepeda zaman sekarang yang bentuknya ramping dan terbuat dari alumunium. Sepeda diciptakan di Prancis pada tahun 1791, sepeda kala itu hanya berupa kendaraan beroda dua dari kayu yang bentuknya aneh. Sepeda ini roda depannya dibuat dalam posisi paten dan tidak berpedal. Jadi sepeda ini baru dapat bergerak maju ketika pengemudinya mengerakkan kakinya untuk berjalan maju.
Pada tahun 1817, Baron Von Drais de Sauerbrun memperbaiki model sepeda primitif itu. Masih tanpa pedal, sepeda yang ini sudah berkerangka dari kayu, rodanya dari logam dan jerujinya yang besar terbuat dari kayu. Selain itu juga sudah mempunyai tempat duduk dan tempat meletakkan tangan didepan. Sepeda ini dapat dikemudikan dengan sebuah palang yang disambungkan dengan roda depan. Saat itu, bersepeda menjadi populer di Jerman, Prancis, Amerika, dan Inggris.
Pada tahun 1839, untuk pertama kali diciptakan sepeda berpedal oleh Kirkpatrick Macmillan, seseorang pandai besi dari Skotlandia, Ciptaannya ini bukan sekedar memperbaiki model lama tetapi betul – betul sebuah inovasi baru, sepeda dengan pedal kaki untuk menjalankan rodanya.
Roda depannya yang dapat dikemudikan diapit dengan kerangka dari logam dalam posisi vertikal yang diletakkan dengan kerangka bagian depan yang terbuat dari kayu yang tersambung dengan roda bagian belakang.
Pedal berada pada kedua sisi kiri dan kanan tersambung dengan tangkai pengungkit perseneling yang berpusat pada kerangka dekat roda depan. Sebuah tangkai penghubung akan mentransfer gerakan tangkai pengungkit perseneling yang naik turun memutar untuk menggerakan roda belakang. Temuan Macmillan ini membuktikan bahwa kendaraan roda dua dapat digerakkan dengan kayuhan kaki tanpa pengemudi kehilangan keseimbangan.
PERKEMBANGAN SELANJUTNYA
Dengan terbukanya pasar Inggris dan Amerika pada akhir tahun 1860-an, sepeda mengalami banyak perkembangan. Misalnya saja, penemuan jeruji dari kawat dan roda yang terbuat dari karet.
Perkembangan yang lainnya adalah adanya lampu, kala itu berupa lilin dalam kotak kecil yang diletakkan pada setir, dan rem yang masih sangat primitif. Rem ini berupa sepatu (shoe, yang menjadi asal istilahbrake shoe) yang digunakan untuk melambatkan laju roda dengan cara pengemudi menarik sebuah tali yang diletakkan di setir dan terhubung dengan sepatu tadi sehingga sepatu itu menempel pada roda hingga dapat menahan lajunya.
Salah satu kelemahan sepeda ini adalah jarak tempuh dalam satu kayuhan hanya sejauh besarnya keliling roda. Agar dapat menempuh jarak yang lebih jauh, kadang – kadang diameter roda depan dibuat menjadi 130 cm dan roda belakangnya 60 cm. Setiap kayuhan pedal akan memitar roda yang besar satu kali sehingga jarak tempuhnya lebih jauh. Model ini disebut Penny Farthing karena bentuknya seperti uang koin Inggris.
Sepeda dengan rantai muncul pada tahun 1879. Sepeda ini roda depannya dikendalikan dengan sebuah engkol yang berada di bawah pusat roda dan dihubungkan dengan rantai dan susunan gigi jentera.
Seiring perkembangan zaman, bersepeda mulai popular sebagai satu bentuk olah raga. Karena murah dan praktisnya, pada tahun 1897, hampir empat juta orang Amerika menggunakan alat transportasi ini setiap hari.
CARA KERJA SEPEDA
Ketika pengemudi mendorong pedal sepeda, gigi jentera akan berputar yang kemudian menggerakan rantai roda. Rantai, yang dilingkarkan pada sebuah bulatan besi bergerigi, bergerak mencocokan posisi pada gigi – gigi nya. Pedal memutar gigi jemtera yang besar yang menggerakkan rantai yang kemudian memutar gigi jentera kecil yang akhirnya memutar roda belakang dan sepeda dapat bergerak maju.
PERSENELING
Zaman ini, sepeda mempunyai perseneling yang digunakan sesuai dengan kecepatan yang diinginkan. Perseneling membantu pengemudi menggunakan kombinasi yang diinginkan antara kekuatan mengayuh dan kecepatannya. Misalnya, pegemudi akan menggunakan perseneling rendah untuk jalan yang menanjak. Dengan demikian, ia akan mengayuh dengan lebih mudah meski lajunya lebih lambat. Sedangkan pada jalan yang datar, akan digunakan perseneling yang tinggi sehingga mengayuhnya lebih lambat tapi lajunya lebih cepat.
Sepeda dengan perseneling yang multi kecepatan mempunyai gigi jentera dengan ukuran yang beragam pula. Jumlah perseneling yang diguakan menentukan kecepatan. Misalnya, sepeda yang mempunyai 5 macam kecepatan (five-speed bike) sepeda yang mempunyai 5 perseneling roda belakang. Dan jika mempunyai ten-speed bike maka sepeda ini mempunyai lima perseneling pada roda belakang dan dua perseneling yang mengatur rantai.”Derailleur” adalah alat yang mengatur perpindahan rantai dari satu perseneling ke perseneling yang lain. Umumnya, “Derailleur” diletakkan di bagian bawah dekat kursi sepeda yang jaraknya diukur dalam jangkauan pengemudi tapi ad juga yang berada di bagian setir.
KERANGKA
Kerangka sepeda haruslah memenuhi syarat minimal demi efisiensi penggunaan. Pertama, kerangka haruslah terbuat dari bahan yang keras dan antara bagiannya menyatu erat supaya kayuhan pengemudi mempunyai daya dorong yang kuat. Apabila setelah satu kayuhan, kerangka bergerak dan harus kembali ke posisi semula maka, hal ini membuat gerakan pengemudi tidak efisien.
Syarat yang kedua, adalah harus mempunyai daya pegas. Ini sangat penting, mengingat berbagai kondisi jalanan yang tidak rata dan berbatu yang menyebabkan hentakan – hentakan akan langsung dirasakan oleh pengemudi melalui tempat duduk dan setir. Hal ini tentu saja membuat bersepeda menjadi sangat tidak nyaman, apalagi untuk jarak jauh.
Umunya kerangka zaman sekarang terbuat dari besi kualitas tinggi tapi belakangan alumunium juga banyak digunakan untuk sepeda yang dirancang ringan.
Pameran Sepeda Onthel
Bulan Oktober 2009 ini barangkali adalah bulan cukup sibuk bagi Podjok. Pada minggu kedua saja, sudah ada 2 acara bersamaan yang diikuti Kerabat Podjok. Acara pertama adalah Pameran Kampung Budaya yang digelar UGM pada tanggal 11-13 Oktober, dimana Podjok turut berpartisipasi membuka stand pameran sepeda onthel. Pameran ini relatif unik karena menampilkan berbagai stand komunitas mulai dari sepeda onthel, low rider sampai komunitas penggemar bis….he..he..he..
Kemudian Minggu 11 Oktober, Podjok juga turut memeriahkan Acara Karnaval Museum-Museum Yogyakarta yang diadakan sebagai langkah promosi guna meningkatkan minat masyarakat untuk kembali mengunjungi museum. Acara karnaval cukup sederhana tapi mendapatkan sambutan meriah dari masyarakat.
Memang minggu yang melelahkan bagi Kerabat Podjok, namun menjaga eksistensi komunitas di dalam masyarakat memang memerlukan komitmen, tidak cukup hanya semboyan dan cerita (liputan sahid nugroho).
#1 Stand Podjok di Kampung Budaya UGM
#2 Sederhana tapi tetap unik memikat…
#3 Sabar menunggu giliran start…
#4 Karnaval berjalan perlahan menyisir Jalan Malioboro
#5 Santai, tenang dan damai…atmosfir khas para onthelis…
#6 Narsis bersama seusai karnaval
#7 Seusai karnaval langsung nonton pameran bareng-bareng
Subscribe to:
Posts (Atom)